• Pikat di Tanah Jajahan

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Sabtu, 28 Desember 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Pada masa 1950-an, orang-orang diajak bepergian dengan sekian sebutan: "tamasja" atau "perpelantjongan". Indonesia berbenah ingin tetap dan semakin molek. Revolusi bergerak dan kemauan memajukan Indonesia melalui "tamasja" dianggap menguatkan martabat negara-bangsa. Situasi itu dimengerti oleh penerbit-penerbit untuk mengeluarkan buku pedoman. Dulu, kita mencatat seri buku berpengaruh susunan RO Simatupang terbitan Keng Po, Jakarta: Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja, Pedoman Tamasja Djawa Barat, Pedoman Tamasja Djawa Tengah, dan Pedoman Tamasja Djawa Timur/Madura.

    Buku-buku itu berpenampilan sederhana, berkertas buram. Faedah buku bagi pembatja: "...mereka dapat petundjuk-petundjuk mengenai tempat-tempat djadjan, rumah makan, penginapan dan tempat-tempat hiburan, sehingga mereka dapat merentjanakan perpelantjongannja dan djuga tidak merasa menjesal karena tidak melihat atau menindjau barang-barang atau tempat-tempat jang tidak diketahui, bilan mengadakan perpelantjongan disuatu daerah."

    Pada masa 1950-an, orang-orang belum terbiasa dengan sebutan wisata atau pariwisata. Buku-buku itu turut mengisahkan masa lalu, babak-babak sejarah (pariwisata) Indonesia. Kini, di hadapan kita, buku berjudul Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942) justru mengajak kita semakin mundur. Buku ini mengisahkan masa lalu tentang alam, hotel, jalan, alat transportasi, hiburan, rumah makan, dan lain-lain. Undangan ke masa lalu semakin terasa dengan gambar di sampul: penguatan kemolekan di Hindia Belanda.

    Pada masa kolonial, istilah wisata atau pariwisata belum muncul. Buku ini sengaja menggunakan judul "pariwisata" dengan pemahaman agak belakangan dan berharap pembaca mengerti dari perkembangan diksi di peristiwa berpergian masa lalu. Episode-episode sejarah dijelaskan Achmad Sunjayadi dengan data melimpah, tak lupa mengingatkan pembaca atas kebahasaan.

    Pada awal abad XX, lakon pariwisata sudah ditentukan oleh politik alias pemerintah kolonial Belanda. Pada masa berbeda, pariwisata itu urusan besar pemerintah Indonesia, sejak masa revolusi sampai abad XXI. Urusan belum jua menghasilkan laba besar, kemonceran, dan pembesaran makna. Indonesia masih sering kerepotan bersaing dengan negara-negara tetangga. Capaian belum berhak mendapat tepuk tangan. Kerja besar mulai diumumkan berupa wisata halal, tetap saja kalah dari pelbagai negara meski pendudukan beragama Islam di Indonesia memerlukan pengesahan "halal" setiap berwisata.

    ***

    Achmad mengingatkan industri pariwisata di Hindia Belanda akhir abad XIX dipengaruhi penerbitan buku panduan. Pada 1891, terbit buku berjudul Batavia, Buitenzorg en de Preanger Gids voor Bezoekers en Toeristen susunan Marius Buys. Buku ini ditujukan ke orang-orang berbahasa Belanda yang ingin mengunjungi Batavia, Bogor, dan Priangan. Buku-buku lain turut memeriahkan imajinasi kemolekan Hindia Belanda: West Java: Traveller's Guide for Batavia to Tjilatjap (1894) oleh Ludwig Fedor Max Schulze dan Reisgids voor Nederlandsch-Indie (1896) oleh Johan Frans van Bemmelen-GB Hooyer.

    Orang-orang dari negeri-negeri jauh berdatangan ke Hindia Belanda: takjub dan mencipta kenangan-kenangan terindah. Situasi penjajahan menjadi latar pariwisata dengan "pemanjaan" ke orang-orang berduit mencari hiburan, kesenangan, dan keindahan. Di pihak bumiputra, gagasan melancong atau piknik dimiliki berbarengan dengan maksud bepergian. Achmad pun memberi contoh gagasan dan imajinasi wisata terbaca di buku-buku catatan perjalanan bumiputra. Ia mengajukan contoh buku garapan Mas Mohamad Rais berjudul Karangan Perdjalanan ke Semarang (1920). Perjalanan dari kota ke kota masih di Hindia Belanda.

    Achmad membagi penjelasan situasi pariwisata di Hindia Belanda dipengaruhi oleh promosi berupa barang cetakan (buku panduan, brosur, peta, poster, majalah), film, pameran, dan kongres. Pembuatan film menjadi pilihan memikat dalam promosi pariwisata. Dulu, perusahaan film asal Amerika Serikat mulai membuat film dengan pengambilan gambar di Jawa dan Bali (1918). Pada 1924, ada pula produksi film dengan merekam kemolekan Yogyakarta dan Surakarta.

    Di luar barang cetak dan film, pemerintah kolonial turut dalam pelbagai pameran dunia di Eropa. Hindia Belanda disampaikan melalui paviliun, pentas seni, foto, dan ceramah. Kita menduga orang-orang di pelbagai negara terpesona ingin datang ke Hindia Belanda.

    Sejarah itu berlalu cepat dengan kedatangan Jepang. Achmad mencatat jumlah hotel memang bertambah, tapi bukan untuk tempat menginap para turis. Hotel-hotel mulai penuh oleh para pengungsi. Pariwisata memang sangat ditentukan kekuasaan. Episode pendek itu lekas berubah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjadikan pariwisata di alur revolusi yang belum selesai.detikcom/nor

    Bandung Mawardi Kuncen Bilik Literasi, penulis buku Pengisah dan Pengasih (2019)

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Pikat di Tanah Jajahan "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com