KORANRIAU.co-Minggu (27/10) Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan terbunuhnya pemimpin Islamic State (IS/ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi dalam operasi militer AS di Suriah Utara. Dalam pembukaan konferensi persnya Trump menyebutkan dengan bangga bahwa "semalam Amerika Serikat telah membawa pemimpin kelompok teroris nomor satu di dunia pada keadilan, Abu Bakar al-Baghdadi telah mati."
Trump juga menyebutkan bahwa penangkapan atau pembunuhan pada Abu Bakar al-Baghdadi merupakan salah satu prioritas utama kebijakan keamanan nasional pemerintahannya. Untuk menutup konferensi pers tersebut kemudian Trump menyebutkan bahwa Amerika Serikat bahkan dunia kini menjadi tempat yang lebih aman dengan kematian Baghdadi.
Pernyataan Trump agaknya cukup berbeda dari pernyataan Barrack Obama delapan tahun lalu saat mengumumkan matinya pimpinan Al-Qaida Osama bin Laden. Obama sama sekali tidak menyatakan secara tersurat bahwa terdapat relasi positif pada keamanan dunia atas matinya pemimpin kelompok teror nomor wahid dunia. Obama juga memberi penekanan khusus salah satunya ialah pernyataan bahwa Amerika Serikat tengah berperang melawan terorisme dan bukan terhadap Islam sebagai agama maupun umatnya yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Keduanya merupakan konferensi pers dengan topik yang sama walaupun disampaikan dengan pesan utama yang berbeda. Lantas bagaimana dampak matinya al-Baghdadi bagi dunia yang lebih aman? Apa pelajaran yang dapat diambil dari kematian Osama? Serta bagaimana tantangan yang dihadapi dunia dan Indonesia pasca kekalahan IS dan matinya Baghdadi?
Lebih Aman?
Akankah dunia sungguh menjadi lebih aman dengan matinya al-Baghdadi? Rasanya pernyataan Trump yang bernuansa populis itu mestilah diuji terlebih dahulu secara ilmiah. Secara sederhana para ilmuwan hubungan internasional menggambarkan dunia dengan istilah perpetual conflict atau secara natural akan terus berkonflik. Dari analisis amat sederhana ini saja tergambar seberapa populis dan jauh panggang dari api pernyataan Trump.
Secara lebih mendalam akademisi kajian terorisme seperti Audrey Cronin menempatkan matinya pemimpin kelompok teror berpotensi 30% membawa pada bubarnya kelompok teror. Adapun bubarnya kelompok teror tentu tidak bermakna lenyapnya seluruh ancaman teror.
Secara historis euforia matinya Osama bin Laden dapat dijadikan pelajaran. Wafatnya Osama dianggap signifikan membawa perubahan pada jaringan kelompok Al Qaida. Contohnya ialah digantikannya Osama oleh Ayman al-Zawahiri yang dianggap tidak cukup karismatik ketimbang Osama. Namun demikian kenyataan konflik dan perkembangan terorisme pasca matinya Osama di kawasan dan dunia alih-alih ditandai dengan deskalasi ancaman teror justru malah sebaliknya.
Demikian juga dalam kasus Baghdadi yang tidak cukup karismatik dan lebih jarang tampil sebagai simbol propaganda publik ketimbang Osama pada masanya. Kini sekali lagi matinya Baghdadi tidak serta merta menandai perubahan total fenomena ancaman terorisme dunia.
Kita juga perlu mencermati substansi yang lebih penting seperti asal-muasal gerakan jihadis dan kelompok terorisme ini. Apakah gerakan Islamic State (IS/ISIS) benar didasari oleh kekuatan patron pemimpinnya? Atau justru lebih dominan diwarnai persoalan ideologi?
Faktanya gerakan IS semisal dalam merekrut foreign terrorist fighters dari berbagai penjuru dunia selalu saja didasari pada pilihan-pilihan diksi ideologis seperti klaim jihad melawan musuh agama, perintah Tuhan untuk berhijrah pada negara yang diklaim sesuai dengan kehendak-Nya, serta seruan untuk melakukan teror yang secara keliru disebut sebagai amaliyah untuk melawan siapapun yang dianggap menghalangi cita-cita kelompok. Oleh sebab itu memahami IS dan gerakannya tidak sesederhana dijelaskan dengan matinya Baghdadi.
Catatan lain tentang operasi AS yang berujung pada matinya Abu Bakar al-Baghdadi ialah keberadaan 11 orang anak yang dievakuasi dari lokasi serangan sesuai dengan data konferensi pers Trump. Keberadaan 11 orang anak dalam baku tembak atau operasi militer tentunya bukan kejadian biasa bagi anak-anak. Dampaknya dapat sampai pada radikalisasi lanjutan sebagai reaksi anak ketika berusaha menjelaskan serangan yang disaksikannya.
Secara psikologis kondisi semacam itu tepat sebagai faktor pendorong anak untuk kelak terlibat dalam terorisme sebagai reaksi kemarahan atau persepsi ketidakadilan. Artinya akankah dampak serangan AS yang tentunya perlu dipuji keberhasilannya memiliki dampak persemaian bibit-bibit radikal jihadis baru? Tentu hal tersebut amat mungkin terjadi.
Maka selain tidak relevan menyebut matinya Baghdadi sebagai kunci dari pintu dunia yang lebih aman, menyebut IS sebagai sebuah desain politik, proxy, dan konspirasi juga tidak tepat. Sebab pembahasan konspirasi tidak lagi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ideologi dan penyesatan pikir telah menyebar begitu masif melalui berbagai medium yang bahkan sampai di Indonesia misalnya melalui peredaran majalah ISIS al-Fatihin atau propaganda simpatisan teror melalui jejaring sosial Telegram.
Terlepas apapun latar belakang IS, ancaman radikalisasi dan ideologinya tetap nyata dihadapi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Salah satu contoh sederhananya ialah penyerangan Menkopolhukam Wiranto oleh Abu Rara dan istri dari jaringan Jamaah Ansarut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS. Sebagaimana telah diungkapkan otoritas Polri bahwa serangan tersebut merupakan serangan spontan dan tentu tidak ada sangkut pautnya dengan perintah Baghdadi, melainkan mengakar pada proses radikalisasi pemikiran yang telah lebih dulu menjangkiti.
Potensi Ancaman
Bila matinya Baghdadi tidak menjadikan dunia lebih aman, maka potensi ancaman apa yang kelak dihadapi dunia dan khususnya Indonesia?
Pada 2015 Harleen Gambhir menggambarkan ISIS dengan tiga strategi utama serangan yaitu interior, near abroad, dan far abroad strategy. Mari berfokus pada strategi far abroad ISIS, yaitu seruan bagi kelompok jaringan maupun simpatisan di mana pun berada untuk tidak berangkat ke Suriah atau Irak, melainkan cukup melakukan serangan di negara asal masing-masing. Seruan ini ialah usaha ISIS sebagai new emerging state actor untuk mengantisipasi kekalahannya di Suriah dan Irak, yaitu dengan cara menciptakan serangan-serangan di berbagai belahan dunia sebagai pengalihan perhatian untuk memberi ruang reorganisasi dan penyusunan kekuatan di Suriah dan Irak.
Ancaman strategi far abroad itu nyata dan terbukti terjadi. Misalnya serangan teror di Eropa, penguasaan kota Marawi di Filipina Selatan, hingga bom Thamrin di pusat kota Jakarta. Salah satu yang perlu diantisipasi dari gerakan ini ialah pergeseran modus operandi serangan yang semula menggunakan bahan peledak dapat bergeser pada medium apapun yang berpotensi menyebabkan ketakutan termasuk dengan cara penusukan pejabat pemerintahan.
Kekalahan ISIS di Suriah dan Irak juga akan berdampak pada kembalinya foreign fighters Indonesia yang telah berada di Suriah dan Irak sepanjang konflik dan berpotensi melakukan teror dalam skala yang cukup besar mengingat pengalaman tempur yang diterima semasa konflik di Suriah dan Irak.
Gambaran ancaman-ancaman di atas menempatkan posisi Abu Bakar al-Baghdadi tidak dalam posisi sentral. Artinya, pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa dunia akan menjadi lebih aman dengan matinya pimpinan IS tidak sepenuhnya berhubungan dengan berkurangnya ancaman teror di kawasan dan khususnya di berbagai negara asal simpatisan ISIS. Analisis ini menggambarkan pesan dan konklusi Trump dalam konferensi persnya merupakan sekadar pesan populis sederhana.
Maka sebagai bentuk antisipasi bagi otoritas keamanan dan juga publik khususnya di Indonesia menyikapi matinya Baghdadi, ada baiknya tidak diiringi dengan penerimaan mentah-mentah dan mengurangi kewaspadaan otoritas keamanan dan publik dalam mengawasi indikasi berkembangnya ideologi radikalisme jihadis di Indonesia.detikcom/nor
Penulis: Prakoso Permono mahasiswa Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia
No Comment to " Setelah Kematian al-Baghdadi "