• Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua?

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Senin, 04 November 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Majelis Rakyat Papua (MRP) merasa tak dihargai. Peran sebagai lembaga kultur adat yang diberikan mandat oleh negara sebagai representasi orang asli Papua, tak dilibatkan dalam rencana pemerintah pusat memekarkan Bumi Cenderawasih. Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menebalkan pemekaran mengharuskan MRP mengambil peran sebelum Jakarta mengesahkan provinsi baru di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

    Tak dilibatkan itu yang membuat Ketua MRP Timotius Murib geram. Ia menolak  rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian membentuk dua provinsi baru. “Dalam pandangan MRP sebagai wakil dari suku-suku di Papua, tentunya belum bisa melihat pemekaran ini sebagai solusi. Bahkan tidak perlu. Pemekaran bukan solusi untuk orang Papua,” ujar dia kepada Republika, pekan lalu. Timo menegaskan MRP menyesal jika pemerintah memaksakan pemekaran.

    “Rakyat Papua yang akan menjadi korban. Dan yang akan menjadi tumpal pertama jika ini (pemekaran) dipaksakan. Kami akan menolak. MRP akan menolak,” tegas Timo.


    Ketimbang membentuk provinsi baru, kata Timo, lebih arif Presiden Jokowi menyelesaikan akar masalah kebutuhan orang asli Papua. Yaitu soal ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.“Masalah akar rakyat Papua itu harus diselesaikan dengan peningkatan kualitas manusianya supaya mereka bisa kenyang, bisa sehat, bisa pintar. Itu dulu selesaikan, baru kita pikirkan pemekaran,” sambung dia.

    Ide pemekaran baru di Papua datang dari Tim 61. Kelompok ini mendapuk diri sebagai perwakilan warga Papua. Namun tak ada satu pun di antara mereka yang mewakili MRP.  Mereka menghadap Presiden Jokowi, 10 September lalu di Istana Merdeka, Jakarta. Pemimpinnya Politikus Golkar, Abisai Rollo. Pertemuan tersebut sebetulnya dibungkus dengan misi untuk peredaman soal keamanan yang terjadi di Papua dan Papua Barat sepanjang Agustus-September. Sepanjang periode tersebut, kota-kota utama Bumi Cenderawasih dihantam kerusuhan.

    Mulai dari masyarakat di Manokwari, Jayapura, Fakfak, Sorong, Biak, Timika, dan kota-kota lainnya turun ke jalan, menuntut pemerintah mengadili pelaku rasialisme yang dialami mahasiswa asal Papua yang terjadi di kota-kota di Jawa. Malang, Semarang, dan terakhir di asrama Surabaya. Kedatangan Kelompok 61 ke Istana Merdeka sebetulnya bagian dari komunikasi Jakarta dan Papua dalam meredakan situasi untuk pemulihan keamanan di Papua dan Papua Barat. Namun dalam pertemuan itu Tim 61, pun meminta Presiden Jokowi memekarkan Papua ke dalam lima provinsi.

    Setelah pertemuan tersebut, situasi di Papua dan Papua Barat sempat kembali kondusif. Namun kembali membara setelah kerusuhan besar terjadi di Wamena, Jayawijaya, pada 23 September. Kerusuhan di Kota Pegunungan Tengah tersebut, juga berembel dugaan rasialisme. Sebanyak 33 orang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Tragedi memilukan itu, pun memaksa 17.539 orang eksodus keluar dari Wamena. Seribu lainnya, tertahan di pengungsian dalam kota. Kerusuhan di Wamena, sampai hari ini membuat situasi di Kota Lembah Baliem itu belum kembali pulih dari kelumpuhan total.

    Jokowi sepekan setelah kembali disumpah menjadi Presiden, mengunjungi Wamena pada 28 Oktober. Suara pemekaran kembali menyeruak dalam kunjungan tersebut. Saat melakukan dialog bersama warga korban kerusuhan, Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah yang juga Bupati Lani Jaya, Befa Yigibalom menagih janji Presiden Jokowi untuk memekarkan wilayah Pegunungan Tengah menjadi provinsi sendiri. Tagih janji tersebut, dengan menyeret keberhasilan para pemimpin di Pegunungan Tengah dalam memenangkan Jokowi saat Pilpres 2019.

    "Kalau ada berkat yang dibagi ke provinsi lain, maka kalau bisa jantung duluan. Jantung itu kami di Pegunungan Tengah. Suara sah seratus persen, Pak," kata Yigibalom di hadapan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi, menyanggupi. Sehari setelahnya, Mendagri Tito dari Jayapura, mengungkapkan tentang rencana pemerintah membentuk dua provinsi baru di Papua. Yakni, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Papua Tengah meliputi wilayah-wilayah Pegunungan Tengah sampai ke timur, dan Papua Selatan meliputi wilayah tengah sampai ke kawasan pesisir tenggara, selatan Papua.

    Dua usulan provinsi baru itu, sampai kini masih berada dalam wilayah Provinsi Papua. Ungkapan Tito tersebut, disambut Menko Polhukam Mahfud MD mengiyakan langkah pemekaran. Meskipun pemerintah sejak 2014 menyetop adanya pemekaran baru. Kata Mahfud, khusus Papua, moratorium pemekaran bisa dikesampingkan. Pernyataan para elite di pemerintahan itu, pun mengarah pada penguatan kepastian pembentukan Papua Selatan. Sedangkan Papua Tengah, Mendagri Tito akui, masih dalam tarik ulur dengan wilayah-wilayah yang akan bergabung dengan provinsi baru tersebut.

    MRP pun kembali mengingatkan pemerintahan pusat dalam wacana pemekaran itu. Ketua Urusan Rumah Tangga MRP Dorince Meheu, menilai pemerintah pusat mengangkangi konstitusional dalam wacana pembentukan dua provinsi baru di Papua. Dorince meminta Presiden Jokowi memerintahkan kementerian terkait pemekaran berdiskusi dengan lembaga resmi adat yang didirikan negara sebagai representasi orang asli Papua. MRP sampai hari ini tak pernah dilibatkan dalam apapun pembahasan untuk ‘membelah’ Papua ke dalam tiga daerah tingkat satu.republika/nor

    Oleh: Bambang Noroyono, Jurnalis Republika

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua? "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com