KORANRIAU.co-Pada 1930-an, seperti kita pahami dari buku-buku sejarah, sebuah sekte kultus yang menyaru jadi partai politik merebut tampuk kekuasaan di Jerman. Namanya partai itu panjang dan susah dieja, jadi kita tulis saja singkatannya yang akrab di telinga orang-orang: Nazi.
Ketaatan pada partai yang mengagungkan ras Kaukasoid Nordik itu dipaksakan di seantero Jerman. Tangan-tangan wajib dinaikkan menjura para pimpinan dan bendera Swastika. Warga dipaksa ikut serta dalam persekusi terhadap komunitas Yahudi di Jerman.
Nah, saat itu, ada sekira 10.000 anggota denominasi Kristiani tertentu yang menolak tunduk pada rezim itu yang dikomandoi seorang kurang sehat akalnya, Adolf Hitler. Mereka menolak menaikkan tangan untuk Fuhrer dan Reich ke-3. Menolak menghormati bendera salib bengkok. Menolak ikut serta dalam pembantaian terhadap etnis Yahudi.
Akibatnya, sedikitnya 2.000 di antara anggota denominasi itu kemudian dijebloskan ke kamp konsentrasi. Sebagian besar mereka, atau setidaknya 1.200 orang meninggal di kamp, 250 di antaranya dihukum mati. Larangan untuk denominasi itu dikeluarkan negara, dan persekusi dijalankan. Bagaimanapun, mereka bergeming!
Nun, di seberang Samudra Atlantik, pada masa yang serupa, ada dua anak yang bersekolah di Pennsylvania, Amerika Serikat. Nama mereka, William dan Lilyan dari keluarga Gobits. Mereka melakukan serupa dengan rekan-rekan sedenominasi mereka di Jerman. Menolak menyaluti bendera bintang bergaris itu. Tangan mereka tetap di saku saat guru kelas mencoba memaksa mereka mengangkat tangan menghormat bendera. Saat sumpah kesetiaan dibacakan sebelum kelas dimulai seperti biasanya dilakukan di sekolah-sekolah AS, mereka berdua enggan juga berdiri.
Mereka dikeluarkan dari sekolah. Ibu-bapak mereka yang keberatan kemudian membawa kasus ini ke Mahkamah Agung dengan dalih pembelaan kebebasan beragama. Mulanya, pada 1940, Mahkamah Agung AS menolak klaim mereka. Yang terjadi kemudian serupa di Jerman.
Aksi-aksi brutal massa terhadap komunitas denominasi itu menggejala. Mereka dikeroyok dan dianiaya, sebagian lainnya diculik, ada juga yang sampai digantung. Usaha-usaha mereka diboikot, rumah-rumah mereka dibakar. "Tak ada persekusi yang sekejam ini setelah aksi Ku Klux Klan (terhadap kulit hitam di AS) pada 1920-an," tulis Persatuan Kebebasan Sipil Amerika, saat itu. Aksi-aksi tersebut mereda setelah Mahkamah Agung AS membalik keputusan mereka. Putusan itu kemudian jadi salah satu yurisprudensi terkait kebebasan sipil di AS.
Kisah-kisah di atas, dirangkum dalam "Between Resistance and Martyrdom" (Detlef Garbe, 2008) dan "Judging Jehova's Witnesses (Shawn Peters, 1991). Berdiri pada 1870-an, bermula dari kelompok studi Injil di AS, para Saksi Yehua meyakini bahwa akhir zaman kian dekat dan Kerajaan Tuhan sebentar lagi berdiri. Sebab itu, mereka menolak mengabdikan diri pada kerajaan-kerajaan manusia, juga menolak ikut perang antarbangsa. Mereka bersedia menaati aturan-aturan negara hanya selama tak bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini.
Ya, komunitas yang keras kepala di Jerman dan Amerika itu adalah para pendahulu dua murid yang menolak menghormat bendera Merah Putih di Batam beberapa waktu lalu. Seperti di Pennsylvania, dua murid di Batam itu juga dikeluarkan dari sekolah.
Namun, sikap para murid di Batam, sedianya bukan barang baru di Indonesia. Sejarah mencatat, pendahulu Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari sempat juga dipenjara dan disiksa karena enggan ikut serta dalam ritual Sekerei alias membungkukkan diri ke arah Tokyo tiap pagi pada masa penjajahan Jepang. Alasan Kiai Hasyim saat itu juga terkait agama yang ia anut. Ia berkeras, tak ada yang boleh disembah selain Allah.
Sikap tidak mau hormat kepada bendera Jepang dan Seikere juga dilakukan H Rasul atau ayahanda Buya Hamka (Buya Malik Karim Amrullah) di tahun 1940-an. Kisah ini diceritakan langsung oleh buya hamka dalam sebuah ceramahnya di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru yang kemudian tersebar melalui kaset rekaman di tahun 1980-an. Ceramahnya berjudul 'Manisnya Iman'.
Buya Hamka saat itu menceritakan sikap keras ayahnya yang tetap tak mau mengormat bendera Jepang dan melalukan 'Seikere' (membungkuk ke arah matahari terbit) di setiap pagi hari. Saat itu dia dipaksa oleh komandan legiun Jepang yang datang ke rumahnya untuk melakukan hal itu.
''Mengapa ayah menolak. Ayah tak takut mati,'' kata Hamka bertanya kepada ayahanda saat itu. Sang Ayah hanya tersenyum. Dia kemudian mengajak Hamka bicara.
''Tidak ayah tak mau melakukan itu?"
"Mengapa?"
"Ini terkait soal iman. Bukan soal tak takut mati, tapi soal setelah mati itu yang ayah takutkan. Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan ketika malaikat bertanya mengapa saya sujud atau seikere ke arah matahari terbt di setiap pagi?,'' jawab sang ayah. Hamka kemudian mentakwilkan sikap ayahanda sebagai cermin dari sikap manisnya iman.
Dan sama soal Hamka dan ayahandanya, saya ingin menekankan, tak punya hak sama sekali menilai apakah keyakinan para ayahanda Hamka dan jamaah saksi Yehua sesuai dengan ajaran Kristiani. Saya tak punya hak menghakimi apakah interpretasi mereka terhadap Alkitab adalah yang paling presisi.
Apalagi ketika tahu soal jawaban dari ibu sang siswa di Batam yang tersebar di media massa itu. Katanya, ini sudah menyangkut soal iman yang dianutnya. Situs berita Tempo.co.id menulis begini:
Herlina membenarkan anaknya tidak mau mengikuti aturan itu. Tetapi, ia menegaskan, anaknya tetap menghormati proses upacara dengan cara berdiri tegap. "Jadi mereka respek gitu, ikut tegap," kata dia.
Herlina mengatakan dalam ajaran pemahaman kepercayaannya hormat kepada bendera adalah menyembah. "Bagaimana lagi, itu memang hati nurani anak kami yang dilatih dengan alkitab, kami sebagai orang tua mengajarkan sesuatu kebenaran terhadap anak kami," kata dia.
Yang saya tahu pasti, negara kita bukan dan tak boleh jadi semacam Reich ke-3 ala Nazi Jerman. Belum juga, dan jangan sampai pada taraf persekusi seperti yang menggejala di Amerika Serikat pada 1920-1940-an. Apalagi pula sosok Kekaisaran Jepang pun sudah kita usir dari kapan tahu.Dan ketika kalah perang dengan Amerika, Kaisar Hirohito, yang dipercaya orang Jepang sebagai anak dewa matahari (Amaterasu-ōmikami (天照大神 or 天照大御神) atau Ōhiru-menomuchi-no-kami (大日孁貴神) pun sudah menjadi layaknya 'orang biasa'. Kaisar Jepang saat itu sekedar lambang. Yang memerintah Jepang adalah sosok orang biasa yakni perdana menteri yang datang silih berganti.
Maka dalam hal ini, saya percaya adalah hak semua orang mau hormat atau tidak pada dua lembar kain beda warna yang dijahit dan dikibarkan terus kita ada-adakan kesakralannya itu. Wallahu'alam. Fitriyan Zamzami/Republika
No Comment to " Hormat Bendera: Saksi Jehua,KH Asya'ri, Hamka, Hingga Hitler "