KORANRIAU.co-Agnes Monica atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Agnez Mo membuat gempar media sosial karena mengaku bukan keturunan darah Indonesia. Pernyataan tersebut dikatakan oleh Agnez dalam wawancara bersama presenter Kevan Kenney dalam video Youtube Build Series NYC by Yahoo. Saat ditanya mengenai keberagaman di Indonesia, Agnez menjawab Indonesia memiliki 18 ribu pulau yang masing-masing memiliki kultur yang berbeda.
Pertanyaan kemudian muncul dari presenter, katanya kamu beda dari orang kebanyakan di sana?
Kemudian Agnez menjawab, tetapi jawabannya yang radikal, pinjam istilah Harico WS.
"Ya, karena saya sebenarnya tidak punya darah Indonesia sama sekali. Saya sebenarnya campuran Jerman, Jepang, dan Cina. Saya hanya lahir di Indonesia," jawab Agnez.
Jawaban itulah yang membuat semua jadi 'rame' sebab maksudnya presenter itu beda dalam arti bukan keyakinan atau asal-usulnya. Walaupun kalau kita buka secara utuh hasil wawancara itu biasa saja. Pertanyaannya mengapa jadi ramai?
Sentimen Politik
Kita tidak bisa mungkiri setelah pilpres 2014 lompatan politik kita tidak lagi memberikan ruang kontemplasi. Sebab ruang politik kita sudah dipenuhi oleh sentimen politik. Jadi, suasana keakraban antarwarga telah terbelah menjadi dua, yakni yang pro dan kontra saja. Hal ini semakin menjadi, ketika perang statement di media sosial. Adapun puncak dari pembelahan itu semakin tampak ketika Pilgub DKI Jakarta pada 2017. Di situ ada pertarungan Ahok dan Anies. Kini malah mulai berubah menjadi sentimen anti ras: Arab dan Cina.
Adanya polarisasi itulah yang menjadi awal kita kehilangan kewarasan berpikir. Sebab jempol tangan menjadi salah satu yang membuat polarisasi itu terjadi. Di mana unsur SARA cenderung dimainkan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan pembelahan terjadi. Hal itu dilakukan karena hanya untuk dukungannya menang dan hebat.
Sementara polarisasi politik di masyarakat saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini. Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu antara Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Prabowo Subianto, mantan jenderal pada era Soeharto yang mendirikan Partai Gerindra. Sedangkan tren polarisasi itu berlanjut pada pemilihan politik yang bertarung tidak banyak berubah.
Ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan di masyarakat. Sebab sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi.
Kalau kita mau melihat politik Amerika Serikat adalah contoh elite dan warganya terbelah antara kaum liberal dan konservatif, Partai Republik dan Partai Demokrat. Inggris adalah contoh lain yang mengalami polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, terutama direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Konservatif.
Namun, polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi. Menurut ilmuwan politik James Q Wilson (2012), komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih. Sedangkan polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia.
Setidaknya sejak rezim Soeharto menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di antaranya lewat kebijakan partai politik tidak boleh memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten, indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan, dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita.
Nah, dari hal di atas, kita bisa simpulkan bahwa kasus Agnez adalah bukan kasus yang pertama. Kebencian kepada UAS, Habib Rizieq Shihab, Anies Baswedan, Permadi Arya, Denny Siregar, FPI, Banser, dan HTI, bahkan sampai pada ras Arab, Cina adalah juga bagian dari korban tersebut. Sebab dari satu kasus ke kasus yang lain adalah motifnya tetap sama, yaitu sentimen politik.
Ketika Prabowo Subianto menerima posisi sebagai menteri pertahanan, diharapkan suasana--tensi politik kita menjadi sejuk dan adem. Ternyata belum juga meredekan suasana politik kita. Sepertinya hal-hal yang di luar selera kita masih juga terjadi pembullyan secara masif. Para buzzer dari kedua kubu masih berada pada posisi wait and see.
Dari hal di atas, kehadiran negara masih belum maksimal. Apalagi, pernyataan para pejabat kita yang satu sama yang lain, masih jalan sendiri-sendiri dengan ukurannya sendiri. Tanpa harus tahu apakah itu ranah tanggung jawabnya atau tidak. Sementara di tangan netizen dengan cepat menggerakkan jempolnya dari pada pikirannya.
Hal di atas itulah yang memprihatinkan kita sekarang ini. Bahwa negara masih gagal menjadi penyejuk dari kondisi politik sekarang ini. Sementara para intelektual, budayawan dan negarawan pada diam karena meredam perundungan terhadap dirinya, jika mengeluarkan pemikirannya. Kita memang sedang memasuki suasana dilematis. Sebagai bangsa yang besar kita memasuki kembali menjadi bangsa tertinggal secara adab.
Saya jadi teringat akan kalimat Mahatma Gandi. "Aku jauh lebih baik melihat ras manusia musnah daripada kita menjadi lebih buruk dari binatang dengan menjadikan ciptaan Tuhan paling baik."republika/nor
Oleh Himawan Sutanto, Mantan Aktivis DMPY dan Alumni ISI Yogyakarta
No Comment to " Ahok, Anies, Agnes: Konfirmasi Pembelahan Sentimen Politik "