KORANRIAU.co-Mengawali bulan Oktober 2019, potret republik kita adalah sebuah peristiwa politik besar yaitu pelantikan parlemen baru untuk periode 2019-2024. Kekuasaan politik parlemen sebelumnya 2014-2019 telah berakhir dan meninggalkan banyak catatan-catatan yang tak selalu positif.
Tidak sedikit kelompok masyarakat memberi penilaian atas kinerja legislatif secara negatif. Mereka menilai parlemen tidak konsisten atas janji-janji politik yang mereka "jual" sebelumnya. Janji tersebut hanya sebatas jargon politik yang memiliki daya kharisma sesaat untuk kepentingan perolehan suara dalam pemilihan umum. Seharusnya prolegnas mampu merampungkan sejumlah undang-undang pro rakyat dalam kurun waktu lima tahun.
Bukannya selesai, tetapi malah menyisakan sejumlah undang-undang yang masih dalam bentuk rancangan, bahkan ada yang kontroversial yaitu mengubah undang-undang yang sudah representatif dan dianggap memperkuat bangunan check and balances dalam sistem penegakan hukum di bidang korupsi. Sebut saja misalnya Revisi Undang-Undang KPK yang mendapat tekanan massa hampir dari berbagai pelosok negeri ini.
Parlemen dan pemerintah dianggap memperlemah kekuasaan dan kewenangan KPK. Dalam konteks ini masyarakat mempunyai persepsi tentang politisi yaitu aktor yang mampu bersandiwara, dagelan, dan berlakon demi kekuasaan. Tentu tak salah jika persepsi demikian muncul sebagai sebuah penilaian.
Penilaian tidak berhenti pada persoalan sekitar undang-undang yang belum rampung di akhir periode, melainkan hal-hal lainnya misalnya penyalahgunaan wewenang oleh sebagian anggotanya yang berlaku tidak sepatutnya. Salah satunya adalah transaksi atau jual-beli kuasa dengan memanfaatkan kekuasaan yang sedang melekat pada dirinya. Rasa tidak percaya masyarakat dengan sendirinya akan semakin menebal dengan kasus-kasus seperti ini.
Transaksi Kuasa
Bentuk kekuasaan parlemen dilihat dari sifatnya yang melekat ada dua, yaitu kekuasaan yang melekat pada diri anggota parlemen secara individual dan kekuasaan yang melekat pada diri anggota parlemen secara institusi.
Melekat secara individual artinya anggota parlemen dapat menggunakan kekuasaan yang dimilikinya (wakil rakyat yang konstitusional) untuk melakukan berbagai tindakan yang dapat mengataskan nama rakyat yang diwakili dan sekaligus dapat menggunakannya untuk yang bukan keperluan dan kepentingan rakyat. Sedangkan melekat secara institusional, anggota parlemen secara kolektif (bersamaan secara keseluruhan anggota parlemen) menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan dan aspirasi rakyat untuk diwujudkan secara material (undang-undang).
Celakanya kekuasaan-kekuasaan tersebut dapat dijual-beli atau ditransaksikan. Apa yang menimpa anggota parlemen seperti Setya Novanto (korupsi E-KTP), Idrus Marham (suap proyek PLTU Riau), Romahurmuziy (suap Kementerian Agama) adalah praktik transaksi kuasa sebagai seorang anggota parlemen yang punya kekuasaan yang melekat pada dirinya secara individual. Tiga orang ini hanya mewakili anggota lainnya yang terjerat kasus karena menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya sebagai anggota parlemen secara individual terkait transaksi kuasa. ICW merilis ada 23 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK sepanjang 2019.
Bagaimana yang berkaitan dengan institusi? Kita pernah mendengar istilah pasal siluman dalam pembahasan rancangan undang-undang. Pasal siluman artinya pasal yang secara ajaib muncul pada saat pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, di mana saat proses penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang, pasal-pasal siluman ini tidak pernah dibahas dan masuk dalam daftar inventaris masalah undang-undang yang sedang dibahas.
Kehebohan pernah terjadi saat penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) 2015. Produk legislasi tersebut dianggap cacat ketika muncul pasal yang sebelumnya tidak pernah ada dalam UU atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan di paripurna DPR.
Bahkan baru-baru ini, Prof. Mahfud MD menduga adanya pasal-pasal siluman dalam RKUHP yang mendapat tekanan dari masyarakat selama beberapa hari lalu. Kehadiran pasal-pasal siluman tersebut dipastikan bukan pekerjaan individu anggota parlemen, tetapi pekerjaan kolektif yang secara tak langsung mewakili institusi parlemen.
Kinerja Parleman Baru
Berbagai penilaian-penilaian di atas tentu tidak arif untuk disematkan begitu saja kepada anggota parlemen yang baru. Wajah parlemen baru bisa saja memberikan harapan dan peluang akan kerja-kerja legislatif yang lebih produktif dan berkualitas. Setidaknya terdapat beberapa aspek penting agar kinerja legislasi parlemen dapat lebih membaik.
Pertama, aspek intelektualitas dan profesionalitas anggota parlemen. Tampaknya sebagian besar ahli manajemen sumber daya manusia meyakini bahwa ada hubungan antara intelektualitas/profesionalitas dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kaum intelek atau profesional akan bekerja secara cerdas, terukur dan memiliki target-target waktu dan hasil. Bagi mereka yang minim pengalaman berorganisasi dan minim pendidikan tinggi, akan terasa sulit mengharapkan hasil kerja demikian.
Oleh karenanya, bagi mereka yang tergolong anggota baru, terpaksa harus belajar cepat, misalnya memahami tata-tertib sidang secara detail dan tepat, manuver lobbying yang jitu sehingga pembahasan segala sesuatunya tidak bertele-tele dan wasting time, membaca, dan memahami undang-undang dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang bertaut dengan mitra kerja.
Mereka yang tergolong anggota lama dan telah beberapa periode menjadi wakil rakyat, hendaknya menjadikan pengalaman selama ini menjadi sebuah modal untuk selalu mencari terobosan-terobosan politik yang lebih beradab dan santun dalam memecahkan setiap persoalan bangsa yang ada.
Kedua, aspek integritas. Integritas memainkan peran penting bagi tumbuhnya rasa percaya dari masyarakat. Berbagai transaksi kuasa yang dimiliki oleh parlemen (individu dan institusi) rentan terjadi. Usia muda tidak jaminan punya integritas teruji dibanding kaum senior. Justru kaum muda lebih rentan untuk ingkar janji atas janji suci politiknya. Faktor-faktor kemapanan materi menjadi pendorong bagi kaum muda untuk khianat atas janji politiknya kepada konstituen. Padahal secara sederhana, integritas itu hanya menguji satunya kata dengan perbuatan. Mudah dikatakan namun tidak mudah dilakukan.
Ketiga, aspek mentalitas. Aspek ini sedikit banyaknya saling berkait dengan integritas. Mentalitas menuntut karakter dan personalitas yang kuat dari seorang anggota parlemen. Dalam praktiknya, kebenaran akan terus diperjuangkan walaupun harus berhadapan dengan kesulitan luar biasa. Istilah "tetap lurus walau kurus" merupakan gambaran ideal dari anggota parlemen yang bermentalitas. Kesulitan memperjuangkan hak-hak rakyat secara umum dan konstituen secara khusus dihadapi dengan penuh percaya diri dan tawakal.
Keempat, aspek soliditas. Parlemen bukan satu-satunya lembaga yang punya hak mutlak membuat undang-undang. Atas dasar adanya persoalan urgen dalam perjalanan pemerintahan, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang ke DPR untuk dibahas secara bersama-sama. Dalam konteks inilah aspek soliditas perlu diperhatikan.
Debat sudah pasti tak terhindarkan dalam membahas rancangan undang-undang karena ada kepentingan berbeda yang sama-sama diperjuangkan. Tetapi debat kusir yang tak ada ujungnya dan proses pembahasan makan waktu terlalu lama sehingga memunculkan disharmonisasi, hanya akan memunculkan rasa muak dan pesimis serta tidak percaya dari rakyat. RKUHP merupakan contoh pembahasan yang dilakukan bersama (Pemerintah dan DPR) yang memakan waktu sangat lama (bertahun-tahun) dan proses sosialisasi yang minim dari pemerintah menyebabkan undang-undang ini digugat dengan berbagai macam argumentasi.
Kinerja parlemen baru akan semakin membaik apabila empat aspek tersebut melekat pada masing-masing anggota parlemen. Internalisasi keempat aspek akan memungkinkan upaya pencegahan dini dari niat-niat buruk parlemen baik individu maupun institusi untuk melakukan transaksi kuasa yang dimiliki. Maka dengan sendirinya parlemen secara institusi menjadi lembaga yang semakin dapat diharapkan untuk membawa negeri ini ke arah perubahan yang lebih baik.
Penulis: Novance Silitonga Direktur Populus Indonesia/detikcom/nor
No Comment to " Mewaspadai Transaksi Kuasa di Parlemen Baru "