• Aparat Kita dan Narkotika

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 31 Oktober 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co -Keterlibatan aparat hukum dalam peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan belakangan ini. Yang terakhir adalah ditangkapnya dua anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) tatkala hendak menjual narkotika jenis sabu di sebuah apartemen di Jakarta. Dua pekan sebelumnya, empat anggota TNI diciduk saat sedang pesta sabu di Aceh. Sementara, di Pematang Siantar seorang anggota satuan Sabhara polres setempat dibekuk koleganya sendiri karena tertangkap basah sedang asyik menggunakan serbuk terlarang tersebut, sekitar akhir Agustus lalu.

    Tiga kasus fenomena "pagar makan tanaman" di atas sangat mengkhawatirkan karena BNN, TNI serta Polri merupakan ujung tombak dan aset vital bangsa dalam memerangi peredaran barang laknat yang seakan tak habis-habisnya itu. Sedikitnya ada dua faktor penyebab aparat terlibat penyalahgunaan narkotika. Pertama, sabu teramplifikasi mitos "obat kuat" yang telah mengakar dalam kebudayaan kita.

    Efek sabu yang mengakibatkan penggunanya tak kenal lelah dan bisa tahan bekerja berjam-jam amat sinergis dengan budaya masyarakat kita terhadap bahan-bahan tertentu yang meningkatkan kekuatan dan stamina. Itu sebabnya, ia amat populer di kalangan pekerjaan yang membutuhkan stamina dan kewaspadaan tinggi seperti militer, pekerja tambang, profesi medis, dan kepolisian. Karena sabu pula (waktu itu masih berbentuk zat amphetamine yang dikemas dengan merk Pervitin), tentara Jerman mampu menaklukkan Prancis pada Perang Dunia II (Ohler, 2016).


    Kultur permisif ini menjadi persemaian ideal sehingga rantai peredaran sabu seakan lingkaran setan yang tak berujung. Strategi komunikasi yang keliru pada masa lampau turut memberi andil. Ketika putauw (heroin kelas 3) marak beredar, pemerintah menggunakan strategi menakut-nakuti (mongering) berupa gambaran pecandu narkotika yang loyo, berbadan kurus kering, suka membolos sekolah atau kerja, dan sakit-sakitan. Ilusi tersebut akhirnya terpatri di benak masyarakat awam hingga kini.

    Padahal sebagian besar pecandu sabu saat ini malah berbadan ideal, sepintas kelihatan sehat dan malah rajin bekerja hingga larut malam. Jika ditanya, mereka akan menjawab, Saya bukan pecandu karena saya sehat dan bekerja seperti biasa. Saya hanya mengkonsumsi vitamin penambah stamina saja."

    Sedemikian dalamnya paradigma keliru tersebut sehingga para pecandu biasanya enggan untuk direhabilitasi pada awal-awal pemakaian sabu. Dalam dunia rehabilitasi pecandu, fenomena ini dikenal dengan istilah tahap pre-kontemplasi, di mana mereka belum sadar bahwa tindak penggunaan narkoba yang mereka lakukan dapat merugikan diri mereka sendiri serta keluarga dan masyarakat sekitar. Itu sebabnya, rata-rata mereka baru dibawa ke pusat-pusat rehabilitasi narkoba saat sudah jatuh dalam tahap adiksi atau ditangkap oleh aparat.

    Faktor kedua adalah jurang ketimpangan nilai ekonomi narkotika dengan pendapatan (take home pay) aparat. Di pasaran, sabu saat ini dihargai sekitar Rp 2 juta per gram. Bandingkan dengan harga satu gram emas yang berkisar Rp 600 ribu per gram. Sementara tunjangan kinerja (tunkin) bagi aparat di lapangan belum mencapai 100 persen seperti yang telah dinikmati oleh pegawai pemerintah yang lain, semisal pada Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung.

    Pihak pemerintah belum menerapkannya sistem pemberian tunkin yang berbasis sifat dan risiko kerja (occupational work risks), namun hanya berdasar beban kerja (workload). Pegawai pemerintah yang mengerjakan tugasnya di dalam ruangan berpendingin udar berpendapatan lebih tinggi ketimbang pegawai lainnya yang berjibaku dengan kriminal narkotika di lapangan. Walau Presiden Jokowi telah meneken kenaikan tunkin bagi TNI dan Polri pada tahun ini, kebijakan tersebut tetap belum mampu menutup selisih keekonomian yang dijelaskan di atas.

    Di hulu, guna menjaga mental aparat agar tak terjatuh dalam lembah peredaran dan penyalahgunaan narkotika, perlu digalakkan pendidikan karakter bangsa sejak usia dini. Mentalitas umat beragama serta bahaya narkotika yang lebih besar ketimbang manfaatnya dapat ditekankan lebih dalam kepada anak dan remaja kita. "Modifikasi budaya" sejak awal terbukti dapat mengubah paradigma dan budaya lokal yang kadung dianut oleh masyarakat setempat (Suyanto, 2010).

    Informasi tentang efek negatif sabu setelah pengaruhnya hilang (badan jadi loyo serta sekujur badan terasa sakit, dan halusinasi pada dosis berat) mestinya lebih dikedepankan oleh media. Sehingga masyarakat luas dapat waspada akan konsekuensi yang ditimbulkan oleh pemakaian narkotika.

    Solusi kedua, pemerintah idealnya harus menambahkan item risiko kerja ke dalam monetisasi kinerja aparat pemberantas narkoba, agar tercipta sistem birokrasi yang berkeadilan, efektif, dan efisien. Tentunya dengan memperhitungkan kondisi keuangan negara serta hasil evaluasi kinerja pegawai yang bersangkutan. Walau tak menjamin sepenuhnya, namun pemberian tunkin berbasis risiko kerja lebih berkeadilan serta merupakan fondasi profesionalisme birokrasi yang kompeten dan memiliki etos kerja positif (Wardiyanto dan Hendrati, 2015).

    Pemerintah beserta pimpinan kepolisian/BNN mesti bertindak cepat mengatasi fenomena menakutkan di atas. Jika tidak, kasus ini akan menjadi bola salju yang akan terus membesar dan menjerumuskan lebih banyak aparat kita.Muhammad Hatta/detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Aparat Kita dan Narkotika "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com