KORANRIAU.co- Wajah politik yang serba dinamis dan tidak pasti bisa kita lihat dalam peristiwa bergabungnya Partai Gerindra ke dalam gerbong koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Partai Gerindra pun mendapat jatah dua kursi di kabinet. Ketua Umum Gerindra sekaligus Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto duduk di kursi Kementerian Pertahanan, sedangkan satu lagi jatah kursi menteri, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diduduki oleh Edhy Prabowo.
Keputusan Gerindra bergabung dengan koalisi pemerintah ini pun menyita perhatian publik. Bagaimana tidak? Belum lekang dalam ingatan kita bagaimana kontestasi politik pada Pemilihan Presiden (Pipres) 2019 lalu berlangsung sengit, panas, dan penuh dengan intrik. Strategi politik kotor dan kampanye hitam mewarnai hajatan lima tahunan tersebut. Perang narasi dan opini yang sebagian besarnya dibumbui oleh berita palsu, fitnah, ujaran kebencian, dan eksploitasi politik identitas nyaris saban hari terjadi di ruang publik kita.
Saling serang opini dengan model komunikasi politik yang tidak sehat tidak hanya terjadi di kalangan elite politik. Di level bawah, masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar yang saling berhadapan. Sentimen identitas, terutama keagamaan dieksploitasi habis-habisan oleh kedua kubu pendukung capres. Puncaknya ialah terciptanya polarisasi politik di masyarakat. Publik terpecah ke dalam dua kelompok besar akibat perbedaan dan afiliasi politik.
Belum sembuh benar luka bangsa akibat hajatan politik Pilpres 2019 yang mencabik-cabik ikatan kebangsaan, kini kita disuguhi drama politik yang membuat kita mengernyitkan dahi. Bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah, dan didapuknya Prabowo sebagai menteri dalam jajaran kabinet Jokowi ialah semacam anti-klimaks dari Pilpres 2019. Apa yang tampak tidak mungkin bagi publik awam, bisa jadi sangat mungkin bagi para politisi.
Pertaruhan dan Kalkulasi
Merapatnya Gerindra ke koalisi pemerintah adalah semacam pertaruhan politik. Galibnya sebuah pertaruhan tentu ada risiko yang terpaksa diambil demi mendapatkan sesuatu yang dianggap lebih menguntungkan. Gerindra memang berada dalam posisi yang dilematis. Dua kali gagal dalam pertarungan Pilpres adalah preseden buruk bagi sebuah parpol sebesar Gerindra. Terlebih ketika lima tahun terakhir, Gerindra memilih berada di luar pemerintahan.
Menjadi oposisi berarti kehilangan kesempatan untuk menikmati kekuasaan berikut aksesnya pada sejumlah proyek yang dianggarkan pemerintah. Padahal, seperti kita ketahui partai politik di Indonesia tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Sumbangan dari negara yang hanya sebesar Rp 1000 per satu suara tentu tidak mampu menutupi kebutuhan keuangan parpol. Mekanisme pendanaan dari kader pun tidak efektif mengingat rendahnya tingkat identifikasi parpol (party-id) di Indonesia.
Satu-satunya sumber pendanaan parpol yang dapat diandalkan ialah sumbangan individu, baik dari kader parpol yang menduduki jabatan eksekutif atau legislatif maupun dari pengusaha yang terafiliasi dengan parpol tersebut. Oleh karena itu, menjadi bagian dari kekuasaan adalah dambaan bagi semua parpol. Kian banyak kader parpol duduk di kursi menteri, bisa dipastikan parpol akan dengan mudah mendapat sumber pendanaan.
Motivasi itu pula yang tampaknya membuat Gerindra banting setir dari oposisi pemerintah menjadi bagian dari koalisi pemerintah. Indikasi itu tampak ketika masa kampanye Pilpres, Prabowo selalu mengeluhkan minimnya dana partai. Bahkan ia sampai harus menggalang sumbangan dana kampanye dari simpatisannya.
Pilihan politik Gerindra untuk bergabung dengan koalisi pemerintah tentu bukan tanpa risiko. Apa yang dipertaruhkan Gerindra untuk mendapatkan kursi menteri ialah potensi kehilangan basis massa pemilih yang selama ini loyal mendukung Gerindra dan Prabowo. Basis massa Gerindra seperti dapat kita lihat dari kontestasi Pilpres 2019 lalu ialah pemilih yang berasal dari kelompok Islam konservatif. Ceruk pemilih ini umumnya mendukung Prabowo lantaran cenderung anti-pemerintah.
Bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah jelas akan berdampak serius pada basis pemilihnya. Bisa dipastikan mereka akan merasa kecewa dan bukan tidak mungkin memilih mengalihkan dukungan suaranya. Jika itu terjadi, maka perolehan suara Gerindra di Pemilu 2024 mendatang terancam anjlok drastis. Pihak yang diuntungkan dalam hal ini tentunya ialah partai oposisi terutama yang berhaluan ideologi Islam.
Meski demikian, partai sebesar Gerindra tidak mungkin mengambil keputusan strategis tanpa kalkulasi politik yang matang. Keputusan untuk bergabung dengan pemerintah tentu telah melewati hitung-hitungan untung-rugi secara komprehensif. Dengan bergabung ke koalisi, Gerindra sebenarnya secara tidak langsung tengah menyiapkan panggung politik untuk pertarungan Pilpres 2024 nanti.
Dengan terlibat langsung di kabinet Jokowi, Gerindra tentu memiliki kesempatan untuk menarik simpati publik. Tentu dengan catatan kinerja menteri-menterinya menunjukkan capaian yang memuaskan.
Mengontrol Kinerja
Drama politik bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah ini membuktikan bahwa perjuangan parpol-parpol di Indonesia lebih banyak dilandasi oleh kepentingan politik. Retorika-retorika ideologis yang diumbar selama masa kampanye nyatanya tidak sekokoh yang dibayangkan. Iming-iming jabatan dan akses pada kekuasaan bisa membuat haluan ideologi perjuangan berubah drastis.
Bagi publik awam, hal ini patut menjadi pelajaran bahwa pertarungan politik di level elite idealnya disikapi dengan wajar. Dukung-mendukung capres atau parpol sepatutnya diposisikan secara rasional-kritis tanpa harus melibatkan sentimen kebencian berlatar identitas dan sejenisnya. Publik harus sepenuhnya sadar bahwa kontestasi politik para elite pada bisa saja berakhir dengan negosiasi-negosiasi di bawah meja tanpa melibatkan pendukung atau simpatisannya sama sekali.
Dalam konteks demokrasi yang lebih luas, bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah juga potensial merusak demokrasi. Dalam sistem demokrasi presidensial seperti diterapkan di Indonesia saat ini, keberadaan oposisi yang kuat, independen, dan kritis mutlak diperlukan. Keberadaan oposisi akan menjadi kekuatan check and balances dan memastikan pemerintah bekerja sesuai dengan konstitusi. Tanpa keberadaan oposisi yang kuat, demokrasi dikhawatirkan akan terjebak pada praktik oligarki. Jika itu terjadi, maka dapat dipastikan demokrasi akan tidak berjalan efektif.
Kita hanya bisa menyaksikan bagaimana hasil pertaruhan politik Partai Gerindra ini pada Pemilu 2024 mendatang. Apakah ia akan mendulang keuntungan dengan mendapatkan panggung politik, atau justru sebaliknya terjerembab lantaran ditinggalkan basis massa pemilihnya. Di luar itu semua, sebagai bagian dari masyarakat sipil, inilah saatnya kita mengonsolidasikan kekuatan untuk mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah. Ketika demokrasi dikuasai oligarki dan tidak menyisakan kekuatan oposisi yang solid, itulah saatnya masyarakat sipil tampil sebagai kekuatan kritis guna memastikan pemerintah berjalan di atas rel yang benar.
republika/nor
Penulis: Nurrochman mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta