KORANRIAU.co-Lembaga pemeringkat perguruan tinggi Quacquarelli Symonds (QS) pada pekan lalu merilis laporan QS Graduate Employability Rankings 2020. Laporan tersebut menyusun peringkat 500 universitas di dunia berdasarkan persentase lulusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan.
Menariknya, menurut Direktur Riset QS Ben Sowter, tidak ada hubungan yang jelas antara prestise sebuah universitas dengan kemampuan lulusannya mendapatkan pekerjaan. Contohnya di Indonesia, Universitas Bina Nusantara yang menempati posisi papan bawah (801-1000) dalam QS World University Rankings justru mendapat skor dan peringkat employability yang sejajar dengan Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang menduduki posisi papan atas dalam QS World University Rankings.
Terlepas dari pro-kontra metode analisis yang digunakan oleh QS, analisis Ben Sowter tersebut kiranya dapat menjadi peringatan bagi semua perguruan tinggi di Tanah Air untuk tidak melupakan nasib lulusannya di tengah semangat kompetisi antar perguruan tinggi untuk menaikkan prestise di tingkat nasional maupun internasional.
Masih Stabil
Tingginya tingkat pendidikan ternyata tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan. Data Biro Pusat Statistik 2019 menunjukkan tingkat pengangguran lulusan diploma dan universitas masing-masing berada di kisaran 6 hingga 7 persen, jauh di atas tingkat pengangguran lulusan SD (2,7 persen) dan SMP (5 persen).
Karakteristik lapangan pekerjaan di Indonesia masih didominasi oleh sektor yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi, yaitu sektor pertanian dan perdagangan yang menyerap hampir 50 persen dari 130 juta tenaga kerja. Dan menariknya, salah satu dampak counter-intuitive dari Revolusi Industri 4.0 adalah munculnya jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak menuntut seseorang untuk memiliki ijazah perguruan tinggi tetapi menawarkan gaji yang lumayan. Layanan transportasi berbasis online misalnya, sanggup memberikan pendapatan yang lumayan dengan waktu kerja yang fleksibel.
Mayoritas masyarakat Indonesia menganut konsumerisme di mana pendidikan masih dianggap sebagai komoditas yang dilihat dari aspek untung-rugi. Biaya kuliah yang semakin mahal tanpa adanya jaminan mendapatkan pekerjaan yang layak menjadikan pilihan masuk ke perguruan tinggi sebagai investasi merugi. Jika hal ini tidak diatasi, animo masyarakat untuk kuliah dikhawatirkan akan menurun. Akibatnya nasib 4600 institusi pendidikan tinggi kita akan berada di ujung tanduk.
Di Amerika Serikat misalnya, jumlah mahasiswa baru terus mengalami penurunan selama 9 tahun berturut-turut sejak 2011 sampai sekarang. Salah satu faktor yang menjadi sebab penurunan minat kuliah adalah membaiknya perekonomian Amerika selama 10 tahun terakhir yang menyebabkan mudahnya mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah. Konsekuensinya, jumlah perguruan tinggi yang gulung tikar terus meningkat.
Sejak 2016, 23 perguruan tinggi swasta dan 32 perguruan tinggi negeri harus ditutup atau dipaksa melakukan merger. Diperparah lagi dengan angka putus kuliah (drop-out) yang saat ini berada di angka kritis 40%. David Kirp membahas krisis drop-out ini dalam buku terbarunya The College Drop-out Scandal (2019).
Di Indonesia sendiri, data Kemenristekdikti menunjukkan jumlah mahasiswa baru masih stabil di angka 1,4 juta mahasiswa per tahun sejak 2014 hingga 2018. Angka ini diharapkan akan terus meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Demikian pula dengan angka putus kuliah yang masih berada di kisaran 1-4 persen. Tetapi dunia pendidikan tinggi di Indonesia tidak boleh berdiam diri. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat bisa saja terjadi di Indonesia jika pendidikan tinggi kita tidak direvitalisasi.
Harus Berbenah
Untuk menjaga kepercayaan publik, dunia pendidikan tinggi kita harus berbenah. Diperlukan sebuah model baru pendidikan tinggi yang sanggup mengikuti cepatnya perkembangan zaman. Ironisnya, mayoritas universitas di seluruh dunia saat ini masih menganut model yang dicetuskan oleh filsuf Jerman Wilhelm von Humboldt pada awal abad ke-19. Mustahil dunia pendidikan tinggi mampu mengikuti perkembangan jaman jika modus operandinya tidak berubah selama 200 tahun!
David Staley dalam bukunya Alternative Universities: Speculative Design for Innovation in Higher Education (2019) mengajukan beberapa model baru yang bisa diadopsi oleh dunia pendidikan tinggi. Salah satu model yang cukup menarik adalah Polymath University --setiap mahasiswa mengambil tiga disiplin ilmu (triple majors), misalnya akuntasi-fisika-sejarah, bisnis-sosiologi-filsafat, keuangan-astronomi-agama, atau beberapa kombinasi lain. Lahirnya ide Polymath University didasari oleh realitas dunia pekerjaan saat ini yang membutuhkan lulusan universitas yang mampu berpikir kreatif, lintas ilmu, dan multidimensi.
Kemudian ada pula model Interface University, di mana mahasiswa dan dosen berinteraksi langsung dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Model universitas ini dilatarbelakangi oleh semakin terintegrasinya kecerdasan buatan dalam sektor industri dan jasa. Lulusan universitas harus mampu berinteraksi dan berpikir bersama komputer, bukan hanya sekedar menggunakannya.
Revolusi dunia pendidikan tinggi adalah proses yang tidak mudah. Hanya ada tiga institusi yang nyaris tidak berubah selama 200 tahun: institusi agama, monarki, dan universitas. Revolusi harus dimulai dari sekarang sebelum masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan tinggi. Saya mengusulkan tiga strategi utama untuk menginisiasi revolusi dunia pendidikan tinggi.
Pertama, perombakan kurikulum (curriculum revamp) dengan melibatkan dunia industri dalam penyusunan dan implementasi kurikulum baru. Untuk menyesuaikan isi kurikulum dengan perkembangan zaman, perombakan dilakukan secara berkala setiap 3-5 tahun dan dievaluasi setiap tahun. Dunia industri terlibat secara aktif dalam proses revamp sebagai penasihat. Mereka mengevaluasi dan mengusulkan kandungan kurikulum yang sesuai dengan praktik-praktik terbaru di dunia industri dan jasa. Mereka juga terlibat secara aktif sebagai tenaga pengajar bantuan (adjunct) dalam mata kuliah tertentu.
Kedua, memperkuat keunikan (difference) dan keistimewaan (distinction) setiap program studi yang ada. Sebagai contoh, kepala program studi S1 Ilmu Hukum di Universitas A harus membuat programnya berbeda dengan program studi S1 Ilmu Hukum di Universitas B. Lulusan setiap prodi dari universitas berbeda akan memiliki keunikan dan keistimewaan yang memberi nilai tambah kepada kualitas dan kompetensi lulusan. Universitas juga didorong untuk membuat program-program studi baru yang unik untuk mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, program magang (internship) yang diintegrasikan dalam kurikulum. Kabar gembiranya, tahun ini Kemenristekdikti memutuskan bahwa 45 jam kerja magang setara dengan satu satuan kredit semester (SKS) sehingga mahasiswa tidak kehilangan SKS selama proses magang. Ke depannya, magang dapat dinaikkan statusnya sebagai kegiatan wajib dengan beban SKS tertentu.
Pada 2016, Malaysia telah memperkenalkan program 2U2I (2 tahun di universitas dan 2 tahun di industri) untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan dan kesiapan kerja yang tinggi. Demikian juga beberapa universitas di Inggris memiliki program 3+1 (3 tahun di universitas dan 1 tahun di industri) dengan tujuan yang sama.
Tentu saja revolusi dunia pendidikan tinggi harus didukung oleh seluruh pemegang kepentingan, mulai dari Kemenristekdikti, universitas, tenaga pengajar, dan mahasiswa. Tidak ada perubahan yang nyaman. Setiap perubahan pasti mendobrak kenyamanan. Tetapi akan lebih tidak nyaman jika perguruan tinggi harus gulung tikar karena kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Penulis: Bimo Ario Tejo associate professor dan dekan Faculty of Applied Sciences (2016-2019) UCSI University, Malaysia/Republika/nor
No Comment to " Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi "