• Membandingkan Sekolah Islam di Indonesia dan Malaysia

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Sabtu, 28 September 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Pada suatu siang yang cukup panas, ditemani oleh gelas-gelas teh yang juga panas dan lumpia hangat, Azmil Tayep mengobrol dengan sejumlah guru di sebuah pesantren di Kalimantan Selatan. Tak berapa lama televisi menayangkan acara infotainment yang memberitakan pernikahan sepasang selebriti beda agama. Tak ayal berita itu memicu perdebatan seru di kalangan guru itu. Sebagian mereka setuju dan sebagian lagi tidak setuju, tentu saja dengan argumen mereka masing-masing yang kebanyakan melalui sudut pandang teologi.

    Perdebatan antarguru di sebuah lembaga pendidikan Islam tentang isu yang sangat sensitif itu membuat Azmil yang berkebangsaan Malaysia terheran-heran. Dalam pengalamannya, pernikahan yang tidak biasa akan dikutuk oleh umumnya komunitas muslim Melayu, terlebih di lingkungan sekolah Islam yang konservatif. Tapi di pesantren persoalan semacam itu malah didiskusikan! Ia pun bertanya-tanya: sistem pendidikan Islam bagaimanakah yang memungkinkan wacana seperti pernikahan beda agama didiskusikan? Mengapa suasana pendidikan Islam di Indonesia dan Malaysia begitu berbeda?


    Mulanya Azmil Tayeb adalah seorang mahasiswa doktoral di Universitas Wisconsin yang mengajar Bahasa Inggris di Pondok Pesantren Darul Hijrah, Martapura, Kalimantan Selatan. Selama setahun pengabdiannya, dari 2017 hingga 2018 di sana, ia menghabiskan banyak waktu bergaul dan bercengkerama dengan santri-santri dan para guru. Azmil mungkin tak pernah menyangka bahwa sebuah diskusi di antara para guru pesantren menginspirasinya untuk menulis sebuah disertasi, karya tulis yang akhirnya diterbitkan menjadi sebuah buku oleh penerbit bergengsi di dunia akademik internasional, Routledge, dengan judul Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Shaping Minds, Saving Souls (New York: 2018).

    Dalam bukunya tersebut Azmil memaparkan perbedaan yang signifikan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dan Malaysia. Secara umum, perbedaan tersebut terlihat dalam tiga hal. Pertama, lembaga pendidikan Islam di Indonesia lebih banyak jumlahnya daripada di Malaysia, bahkan jika dirasiokan dengan jumlah populasi muslim di masing-masing negara. Di Indonesia terdapat 47.221 sekolah Islam, baik negeri maupun swasta, yang secara kasar berarti tersedia satu sekolah untuk 4.387 muslim. Sedangkan di Malaysia ada 1.804 sekolah Islam yang berada dalam ruang lingkup sistem pendidikan nasional, atau sekitar satu sekolah untuk 9.616 muslim.

    Jumlah tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam mensuplai logistik dan dana pendidikan bagi sekolah-sekolah yang tersebar di berbagai pulau dengan keragaman budaya setempat, sehingga sulit untuk mengimplementasikan kurikulum yang terintegrasi dan sulit menuntut pemenuhan visi pendidikan Islam ala pemerintah dari sekolah-sekolah lokal. Sebaliknya, jumlah lembaga pendidikan Islam yang lebih kecil ditambah dengan anggaran pendidikan Islam yang lebih besar memudahkan pemerintah untuk mengontrol dan mengawasi sekolah-sekolah Islam di Malaysia.

    Kedua, kebanyakan sekolah Islam di Indonesia dimiliki dan dikelola oleh swasta yang biasanya bernaung di bawah yayasan-yayasan bentukan masyarakat atau perseorangan, sedangkan di Malaysia mayoritas sekolah Islam berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan atau Majlis Agama Islam Negeri. Status tersebut memberi peluang bagi sekolah-sekolah Islam di Indonesia untuk beroperasi secara cukup bebas, baik dalam nilai-nilai pendidikan, kurikulum, sistem pengelolaan lembaga dan lain-lain, selama sekolah-sekolah itu tidak secara utuh bergantung kepada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal pendanaan.

    Di lain pihak, status sekolah-sekolah Islam di Malaysia memberi otoritas pengelolaan yang ketat, baik oleh Kementerian Pendidikan maupun Majlis Agama Islam Negeri. Putrajaya dalam hal ini mengontrol dan mengawasi penuh konten-konten kurikulum pendidikan Islam, penunjukan dan sertifikasi guru, pemilihan buku-buku pelajaran dan lain-lain. Singkatnya, pendidikan Islam di Malaysia lebih tersentralisasi dibanding di Indonesia.

    Ketiga, terdapat tingkat perpaduan yang tinggi antar institusi yang menangani pendidikan Islam di Malaysia. Sekalipun Kementerian Pendidikan dan Majlis Agama Islam Negeri memiliki agenda politik yang berbeda dalam beberapa kasus, kedua institusi itu bekerja saling beriringan khususnya dalam hal penentuan kurikulum, supervisi sekolah, pelatihan dan penempatan guru dan sejumlah persoalan operasional lainnya.

    Sebaliknya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama acapkali tak sejalan dalam nilai dan tujuan umum masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Ketidaksinambungan tersebut tampaknya diperparah oleh campur tangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pendidikan Islam. Meski demikian, Azmil menyatakan bahwa institusi yang tidak padu di Indonesia justru memberi kesulitan buat negara untuk memasukkan ideologinya ke dalam sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan Malaysia, di mana negara berpadu dan secara efektif membentuk pendidikan Islam sesuai visinya.

    Berdasarkan simpulan-simpulan umum itu Azmil mencoba membangun argumen bahwa terdapat paradoks (keserbasalahan) yang muncul dari perbedaan sistem pendidikan Islam di Indonesia dan Malaysia (saya berterima kasih kepada Azmil yang telah mengonfirmasi hal ini lewat perbincangan di Facebook Messenger). Dalam bahasa sederhana, pendidikan Islam di Indonesia yang tak tersentralisasi membuka keran kebebasan dalam pemikiran dan diskursus keislaman.

    Hal itu disebabkan setidaknya oleh ketiga hal tersebut di atas, yakni kesulitan negara mengontrol sekolah Islam yang jumlahnya banyak, kebanyakan sekolah Islam dimiliki oleh swasta dan ketakterpaduan institusi negara. Sementara itu, di Malaysia pendidikan Islam terpusat dan dikontrol oleh negara dengan institusi-institusi yang padu, sehingga membatasi pertumbuhan dan peredaran pemikiran dan diskursus keislaman.

    Di sinilah letak paradoks itu. Pendidikan Islam yang terpusat dan terpadu memang memudahkan pengelolaan dan pendanaan pendidikan, tapi membatasi gerak lembaga pendidikan Islam dan khususnya kebebasan pemikiran dan diskursus keislaman. Sebaliknya, pendidikan Islam yang tidak terpusat dan tidak terpadu, menyulitkan pembinaan pendidikan oleh negara tapi membuka kebebasan pemikiran dan diskursus keislaman yang bagi Indonesia dengan beragam identitas kelompok masyarakatnya hal tersebut sangatlah penting.

    Persoalan pendanaan oleh negara rupanya mempengaruhi keterbukaan ideologi. Semakin mandiri, semakin mudah dan bebas bagi sekolah Islam untuk menancapkan visi dan misinya. Sebaliknya, semakin tergantung pada negara, sekolah Islam akan sulit mengembangkan nilai dan ideologi yang dianut.detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Membandingkan Sekolah Islam di Indonesia dan Malaysia "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com