• Obsesi Kita pada Penjara

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 27 Agustus 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co- Sebenarnya, apa yang kita cari: keadilan, kedamaian, atau pembalasan dendam?Ini bukan tentang hidup. Ini cuma tentang karakter dari gesekan-gesekan sosial yang rasanya tak pernah berhenti menghampiri kita.

    Tiba-tiba, pertanyaan itu mendesak keluar dari kepala saya beberapa pekan lalu ketika kasus Abdul Somad tengah ramai-ramainya. Terbaca di mata saya petisi online, juga seruan-seruan di media sosial, dengan kata-kata yang jelas: "Penjarakan UAS!"

    Otak saya, yang memang tak lebih istimewa dari otak sesama korban pusaran polarisasi, serta-merta teringat kalimat tuntutan sejenis yang mencuat beberapa tahun silam: "Penjarakan Ahok!"

    Kalimat tersebut begitu riuh mengisi ruang-ruang perbincangan kita pada hari-hari itu. Di televisi, di layar ponsel, di spanduk-spanduk, di poster-poster. Tuntutannya sudah jelas, yaitu "penjarakan". Bukan "adili", atau "seret ke polisi", apalagi sekadar "tuntut pertanggungjawaban".

    Ada dua hal yang terasa mengganggu dengan tuntutan seperti itu, baik kepada Ahok maupun kepada UAS.

    Pertama, betapa massa dengan amat gampangnya memutuskan suatu vonis dengan mendahului otoritas pengadilan. Penjara adalah wujud vonis, padahal vonis itu baru akan dijatuhkan jika pengadilan memutuskan seorang tersangka bersalah, dan kesalahannya layak diganjar dengan hukuman penjara.

    Kedua, kenapa mesti penjara? Apakah penjara menjadi satu-satunya orientasi kita dalam upaya menegakkan keadilan? Atau jangan-jangan kita memang tidak sedang mencari keadilan, melainkan sekadar mengikuti nafsu purba untuk membalaskan dendam?

    Naluri membalas dendam itu terasa sekali, setidaknya dalam perasaan saya, ketika kasus UAS kemarin. Bahwa banyak orang sakit hati dengan video UAS, itu pasti. Sayangnya, fokus pembahasan atas kasus itu sendiri kerap dilampiri pembandingan dengan kasus Ahok di Jakarta dan Meliana di Tanjung Balai. Seolah-olah: "Karena Ahok dan Meliana masuk penjara, maka UAS harus pula dipenjara."

    Perasaan sakit hati, merasa jauh dari pemenuhan hak atas keadilan, diabaikan dan dianaktirikan oleh negara, itu manusiawi. Kita dapat membicarakannya lain kali. Namun pertanyaan saya, haruskah penjara dibalas penjara? Juga, haruskah penjara?

    Mohon jangan salah tangkap dengan pertanyaan saya itu, lalu menyimpulkan bahwa secara tidak fair saya sedang membela pihak ini dan itu. Kegundahan saya itu lebih kepada realitas penjara itu sendiri. Saking lazimnya serta saking lamanya kita mengenalnya dalam hidup kita, seakan-akan penjara merupakan entitas yang taken for granted alias sudah begitu dari sono-nya.

    Padahal, senyatanya tidak begitu.Jika kita telusuri, metode pemenjaraan sebagai instrumen penegakan hukum baru berangkat tidak jauh-jauh dari akhir abad ke-17 di Inggris. Ketika itu terali besi difungsikan sebagai tempat transit sementara bagi seorang terdakwa, sebelum dia mendapatkan hukuman finalnya. Konsep itu terus berkembang, sampai ke pemenjaraan para kriminal yang dilempar ke koloni-koloni Inggris semisal di Australia, dan berkembang terus setelah muncul kritik agar pengelola penjara lebih memanusiakan para narapidana.

    Menjelang akhir abad ke-18, filsuf Jeremy Bentham turut hadir untuk lebih merapikan sistem itu, hingga perlahan-lahan memantapkan penjara bukan hanya sebagai ruang penghukuman melainkan juga ruang rehabilitasi.

    Poin saya, kita mesti paham dulu bahwa penjara tak lebih dari salah satu eksperimen manusia untuk menegakkan kesepakatan komunal, dan cara penegakan itu dijalankan dengan sebisa mungkin tidak keluar dari nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, tetap saja ia cuma sebentuk eksperimen, yang bisa jadi ia benar dan efektif, bisa jadi pula ia keliru dan tidak berguna.

    Saya teringat satu peristiwa ketika kami sekeluarga masih tinggal di negara sebelah selatan Pantai Parangtritis. Alkisah, terjadi keributan di Coolbellup, kampung kami di sana. Penyebabnya, seorang predator seksual dengan korban banyak anak kecil telah menjalani 12 tahun masa hukumannya di penjara, dan ia akan segera dibebaskan.

    Namun, warga protes keras. Mereka menolak kembalinya kakek-kakek predator itu ke tengah mereka. Perasaan tak aman membuat ngeri banyak orang, khususnya yang punya anak balita hingga umur belasan. Semua menyatakan tidak tenang, karena mereka tak percaya bahwa si pedofil telah sembuh dari perilaku lamanya.

    Lihat. Meskipun si kakek mesum itu telah usai menjalani masa yang panjang di dalam penjara, ternyata tidak ada perubahan apa pun di masyarakat yang akan menerimanya. Bayangkan, dua belas tahun! Itu sama sekali bukan waktu yang pendek. Dan rasa tenang, rasa percaya, yang berangkat dari garansi keberhasilan proses rehabilitasi di dalam penjara toh tidak tumbuh sama sekali.

    Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan peristiwa itu, sama tidak tahunya saya dengan sejauh apa si kakek berubah perilakunya. Yang jelas, ada satu hal penting di sini yang harus kita catat: masyarakat Australia pun tidak percaya kepada fungsi rehabilitasi dari penjara.

    Bagaimana dengan kita? Sejauh apa kita percaya kepada fungsi rehabilitasi penjara? Anda percaya? Hehe, kalau Anda bilang percaya sepenuhnya, maaf, saya yang tidak percaya kepada Anda.

    Di negeri kita, istilah penjara diperhalus dengan "lembaga pemasyarakatan". Pada konsep awalnya, itu memang bukan semata eufimisme. Itu murni sebuah visi, yaitu memasyarakatkan kembali person-person yang sebelumnya melanggar kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat. Karena itu, di dalam penjara dilaksanakan kursus-kursus keterampilan, pendisiplinan aktivitas ibadah keagamaan, dan sebagainya. Tentu agar si penghuni penjara bisa kembali ke masyarakat dengan baik.

    Malangnya, metode pemasyarakatan demikian tidak dapat dibilang sukses. Bukan rahasia lagi bahwa banyak jaringan kriminalitas tetap berjalan efektif meski tokoh utamanya menggerakkan organisasinya dari dalam penjara. Tak jarang pula kita mendengar regenerasi kejahatan, juga pemasaran barang-barang terlarang, berjalan kian gencar di dalam penjara. Pada kejahatan kelas tinggi, bahkan dengan telanjang kita menonton tayangan operasi mendadak untuk melihat sel para koruptor kelas kakap, dan ternyata bilik-bilik mereka sekelas hotel bintang empat.

    Lalu, sepercaya apa kita kepada penjara? Kenapa masih saja tak bosan-bosannya kita berteriak penjarakan anu dan penjarakan itu? Betulkah pemenjaraan atas orang-orang yang kita sasar itu akan sungguh-sungguh memenuhi tujuan kita?

    Dari situ, kita dapat kembali bertanya apa sebenarnya tujuan kita. Kalau semata ingin melampiaskan dendam, belum tentu penjara mampu memberikan jawaban. Bisa jadi orang yang kita kirim ke penjara malah akan semakin eksis di sana, mendapatkan aneka kemewahan dengan jalur-jalur yang dia punya, dan sebagian besar fasilitas yang ia dapatkan dibiayai oleh negara.

    "Semakin kita menuntut agar seseorang dijebloskan ke penjara, diam-diam kita sedang ingin mentraktir dia makan gratis bertahun-tahun dengan uang pajak kita," begitu kata saya kepada seorang kawan.

    Adapun kalau tujuan kita adalah memenuhi rasa keadilan, menciptakan kedamaian, juga memulihkan harmoni sosial, mungkin sebagian tujuan kita akan tercapai. Tapi ya cuma sebagian saja, sebab fungsi pemasyarakatan dari penjara toh sudah sejak lama kita ragukan.

    Dalam bukunya yang berjudul The World Until Yesterday, Jarred Diamond memaparkan bahwa sistem peradilan masyarakat modern memang tidak memikirkan pulihnya harmoni masyarakat. Suatu vonis ditetapkan untuk memberikan efek perlakuan yang setimpal, bukan dalam rangka memperbaiki hubungan pihak-pihak yang berkonflik.

    Ini beda dengan masyarakat tradisional yang populasinya kecil dan para pelaku konflik masih akan berhubungan satu sama lain. Penyelesaian pertikaian dalam masyarakat tradisional berorientasi rekonsiliasi, sehingga ada visi jangka panjang kohesi sosial yang dipertimbangkan saat sebuah vonis "pengadilan" ditetapkan.

    Nah, penjara adalah produk peradilan masyarakat modern, dengan anggota masyarakat yang tidak terlalu memikirkan pulihnya interaksi selepas konflik, tidak terlalu sejalan dengan kata "pemasyarakatan" dalam istilah "lembaga pemasyarakatan".

    Itu beda dengan Belanda, misalnya, yang tempo hari membikin ramai dunia karena berita penutupan penjara-penjaranya. Asal tahu, gulung tikarnya penjara-penjara di Belanda bukan karena warga di sana semua baik dan tidak suka berbuat jahat. Ada beberapa faktor pendukung.

    Pertama, pengurungan narapidana memang tidak dilihat sebagai metode efektif rehabilitasi. Maka, untuk rehabilitasi, diutamakan hukuman berupa aktivitas layanan sosial. Jadi tukang sapu jalanan selama lima tahun, misalnya.

    Kedua, akar masalah yang mendasari seseorang dihukum dicermati dan dicarikan solusi. Kalau masalahnya uang, si napi akan mendapat akses kredit modal. Kalau masalahnya agresivitas berlebih, napi diberi konseling rutin anger management.

    Ketiga, ya karena di Belanda tidak setiap hal kecil langsung dianggap kriminal dan dihadang dengan ancaman pemenjaraan hehehe.

    Lalu, ada di mana kita?

    Ya, kita masih di sini. Kita masih merawat obsesi berlebihan kepada penjara. Kita masih rela kehilangan 1,79 triliun anggaran per tahun hanya untuk biaya makan para penghuni penjara. Kita masih membayangkan suatu perbaikan terjadi dengan menjejalkan 40 orang ke dalam satu sel yang kapasitas sesungguhnya hanya 12 orang.

    Lebih jauh, kita terus melanjutkan mata rantai dendam tak berkesudahan, dengan tanpa lelah berteriak penjarakan anu penjarakan itu. Dan kita masih mengandalkan penjara, sembari melupakan mekanisme-mekanisme lama yang kita pernah punya, yang sebenarnya jauh lebih efektif untuk memulihkan harmoni sosial kita.

    Penulis: Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Obsesi Kita pada Penjara "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com