KORANRIAU.co-Awalnya tak terasa aneh ketika ada seorang sahabat mengundang makan siang di sebuah restoran mahal di bilangan Senayan. Setelah bertemu, kami berdua kemudian terlibat dalam guyonan asyik dan berbicara mengenai banyak hal, dari yang serius sampai gosip. Suasana restoran memang mendukung untuk itu. Tak terlalu banyak orang di sana kala itu juga tak terlalu riuh dan bising. Alunan musik hanya terdengar pelan.
"Aku boleh minta tolong ke kamu,’’ tukasnya. Pertanyaan itu langsung aku jawab dengan anggukkan kepala. Masih dengan rasa penasaran dia selanjutnya kubiarkan membicarkan maksudnya.
‘’Aku sekarang kerja pada perusahaan asing. Tugasku mengumpulkan data tentang seseorang atau company tertentu. Maka itu aku undang kami ke sini,’’ ujar dia meneruskan pembicaraan dan aku pun hanya mendengarkannya.
‘’Ya gajinya lumayan sih. Makanya aku bisa traktir kamu makan di restoran ini. Apalagi uang makan ini bisa dirembes ke kantor,’’ katanya sembari kembali meminta kesediaan pertolongan saya. Dan kini pertanyaan itu aku jawab singkat,’’Okey, kalau bisa saya bantu, akan tolong tentu!”
Dia kemudian menegakkan badannya. Ini pertanda akan bicara serius.’’ Aku minta tolong kamu cerita ke mana saja Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan Pak Harto dulu itu. Kalau gak tolong tunjukan siapa orangnya yang bisa dihubungi itu. Kamu kan wartawan beberapa kali tulis soal ini. Lagian tampaknya kamu punya jalur ke sana,’’ tututnya lebih lanjut.
Mendengar itu aku spontan tertawa.’’Gila lu. Tanya sana sama ‘Mbak Tutut’. Tanya sendiri. Aku tak kenal dia,’’ tukasku. Setelah itu dia mendengar aku hendaknya bisa menghubungkan dengan beberapa orang tertentu untuk membicarakan lebih detil soal ini.
“Untuk apa sih? Itu kan amal baik Pak Harto. Masak dicari jeleknya terus beliau,’’ kataku menyelidik. Si teman kemudian menjawab," Data Ini akan dipakai sebagai data base perusahaannya. Bisa digunakan untuk berbagai hal. Lumrah kan,’’ ujarnya,
Nah, mendengar pertanyaannya saya hanya memberikan jawaban standar kepada 'intel swasta' ini. Setelah itu aku kutip pernyataan Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana) soal yayasan yang dia maksud tersebut. Pernyataan ini pun umum saja karena sudah di muat di berbagai media massa.
"Selama 33 tahun berkiprah, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan telah menyalurkan bantuan sekitar Rp 64 miliar," ujar Siti Hardijanti Rukmana yang saya tirukan.
Keterangan Foto: Kegiatan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan bersama 'Mbak' Tutut dalam rangka pemberdayaan nelayan. (dok: Lampung Post)
Rupanya dia masih saja tak puas. Saya kisahkan pula bila yayasan itu dipakai untuk memberdayakan petani di berbagai daerah. Juga untuk membantu bencana alam. Bahkan untuk mendirikan rumah sakit dan fasilitas kesehatan rakyat yang lain.
‘’Tanya saja sana sama Pak Haryono Suyono. Dia yang mengurus yayasan itu,’’ jawabku lagi. Namun rupanya dia lagi-lagi tak puas. Dia berusaha mengkorek terus. Dia tanya asal usul dana itu dan lain sebagainya.
Dan karena aku memang benar-benar tak tahu, maka aku juga katakan tak tahu:’’Jujur ya aku tak tahu. Aku hanya tahu beberapa rekan wartawan sempat di bawa pengurus yayasan itu untuk menuliskan laporan soal kiprah yayasan itu di berbagai daerah.’’
Namun berbagai pertanyaan selanjutnya tetap tak mau aku jawab. Tak bisa hati menerimanya. Saya ingat pepatah Jawa yang sangat dijunjung Pak Harto bagi siapa saja ketika hendak mengenang orang yang telah tiada: Mikul duwur mendem jero (Menjunjung tinggi jasa luhurnya dan menyimpan segala keburukannya). Akibat sikap ini, acara ngobrol makan siang kemudian berakhir menjadi 'hambar' dan ‘kering’.
Soal adanya pertemuan ini sempat saya ceritakan kepada Pak Haryono Suyono dalam sebuah pertemuan di bilangan Kuningan Jakarta. Ketika hendak bicara agak deg-degan juga. Tapi akhirnya aku katakan. Dan ternyata Pak Hartoyo menanggapi dengan sikap santai saja.
‘’Saya sudah tahu itu. Minta dia ketemu saya. Saya tunggu ke rumah,’’ kata Pak Haryono sembari tertawa.
Setelah bertemu Pak Haryono saya pun sempat bercerita kepada seorang teman. Dia jurnalis senior alumni Fisipol Universitas Gajah Mada. Saya cerita apa adanya.
‘’Biasa itu. Yayasan peninggalan Pak Harto itu tak hanya bangun rumah sakit, pemberdayaan petani pun telah dibuatnya. Banyak hal yang dibuat yayasan itu. Ingat Pak Harto sudah bangun 999 masjid dengan gaya Joglo yang disebut 'Masjid Muslim Pancasila'. Dan khusus untuk saya, Pak Harto berjasa memberikan bea siswa untuk kuliah. Banyak teman lain juga dapat dana bea siswa itu,’’ katanya seraya menyebutkan beberapa nama teman lain yang dia ketahui dahulu menerima dana bea siswa dari Yayasan Pak Harto juga.
‘’Lha ini semua orang terkenal mas. Mereka kan kemudian sangat kritis kepada Pak Harto hingga kini. Seolah Pak Harto tak ada benarnya,’’ tanyaku dengan nada heran. Dia pun kemudian menjawabnya sembari tertawa lebar.’’Sudahlah. Ya memang begitu. Itu manusiawi,’’ ungkapnya.
Lagi-lagi atas jawaban tersebut, ingatan terpulang kepada tulisan dan wawancara pengamat politik Sukardi Rinakit ketika berbincang dengan Pak Harto di usai senjanya setelah lengser. Dia sempat bertanya mengenai pandangan Pak Harto atas masa mahasiswa yang terus menghujatnya.
“Apa bapak sedih atau marah?’’ tanya Sukardi Rinakit. Pak Harto menjawab pendek.’’Tidak. Aku hanya nelangsa saja.’’
“Mengapa Pak?”
‘’Iya kamu dan mereka kan anak-anak saya. Bisa sekolah dan punya baju bagus kan di dalamnya ada andil bagian saya. Saya tak marah, hanya ngenes saja,’’ kata Sukardi menirukan Pak Harto.
Dan terakhir untuk perkara soal tersebut ada kisah yang mirip, yakni dari Yorries Raweyai yang sebentar lagi akan menjadi anggota DPD dari daerah pemilihan Papua (sebelumnya anggota DPR). Yorries semua tahu dahulu adalah salah satu dedengkot ormas Pemuda Pancasila: ’’Dik Yorries nanti kamu akan tahu rasanya betapa susahnya mengatur Indonesia!”
Kalau begitu apa ini arti dari slogan yang tertempel di berbagai badan mobil angkutan: Isih Penak Zaman ku to?
Penulis: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.