• Tanggap Balik 77 Tahun Tabrani Rab

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Senin, 01 Oktober 2018
    A- A+

    Tanggap Balik 77 Tahun Tabrani Rab
    Oleh: Taufik Ikram Jamil

    Taufik Ikram Jamil


    Diminta memberikan refleksi alias tanggap balik 77 tahun Tabrani Rab, Sabtu malam (29/9), saya memang merasa gugup. Pasalnya, acara untuk itu dibuat Ahad esoknya, sedangkan Tabrani bagi saya bukanlah sembarang orang. Terlalu banyak sebutan yang disandangnya dengan pencapaian yang tak tanggung-tanggung pula.

    Untungnya, balasan pesan pendek melalui telepon genggam kawan saya Abdul Wahab yang tinggal di kawasan Selat Melaka sana, sampai satu jam sebelum acara dimulai. Berjujai-jujai pesannya muncul dengan satu benang hijau yang jelas las las las. 

    “Bagaimana kita merefleksikan atau menanggap balik hari kelahiran Prof Dr Tabrani Rab sekarang, kalau tidak mengajukan sejumlah pertanyaan?” tulisnya.

    Ia cepat menyambung, “Tak satu, tak dua, mungkin puluhan, bahkan tidak terhingga. Pasalnya suatu pertanyaan melahirkan pertanyaan. Dan anehnya, semua jawaban dapat diketagorikan benar, tergantung dari sudut mana kita memandang. Sementara Tabrani telah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan caranya sendiri.”


    Kemudian Wahab menulis bahwa di tengah kesibukannya melayani pasien, ia masih berbicara Albert Camus yang terasing dan berkuasa. Tapi ia juga menulis puisi dari hal-hal kecil semacam lalang dengan pertanyaan mengapa bernama lalang, kemudian bagaimana api melahapnya sehingga kemudian hanya menjadi kenangan.

    Di sisi lain disentuhnya Tahar ben Jellooun dan Nadjib Mahfouz dengan kedai kopi di sudut kota Kairo yang bergelora. Lalu mengelak dari Socrates, tapi juga bukan berpaham dengan Ibnu Khaldum. Adam Smith dan Kierkegard menyatu, tanpa dilupakannya Yung Saleh yang terpongkeng-pongkeng menjual ojol dengan harga secebis.

    Tabrani Rab


    Dengan duka lara diceritakanya pula Leman Kengkang dan Atan Ketip yang mengaruk limbah dari perairan Selat Melaka, sedangkan ikannya lari entah ke mana. Juga orang-orang mengadu untung ke Malaysia, selain Sakai dan Akit yang senantiasa terdera. Bertahun-tahun Tempias, menempias bilik-bilik pertemuan para eksekutif dan legilatif, dengan kocak, manja, bahkan semua sifat yang ada. Ketawa, sinis, bahkan sergah, terangkai dalam kepiawaian budak Melayu jati.

    Alih-alih kemudian ia berpindah pada sekolahnya yang izinnya dihambat-hambat, kemudian berlari ke Jalan Riau untuk melihat pembangunan suatu tempat yang seperti akan menampung semua pikirannya sekaligus wujud sebagai apa pun namanya. Ia beriteriak lantang sekaligus memimpin Riau merdeka, tapi juga tidak ingin darah tumpah di sini. Ia terima dewan otonomi daerah tanpa melepaskan pemuliaan terhadap manusia yakni penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

    Ia lebih dari apa yang dibayangkan Sulalatus Salatin dengan tokoh bernama Raja Suran. Seorang sosok yang coba mencari kehidupan di dasar lautan dengan kaca besar sebagai pesawat pada abad ke-17, jauh sebelum Eropa memperhatikan kekayaan maritim. Soalnya, Tabrani tidak hanya bertanya dalam kemuakan semuak-muaknya seperti Raja Suran, tetapi sekaligus menjawab sehingga kita bisa melihat hari ini bagaimana harapannya terwujud. Terlebih lagi, perwujudan harapan itu amat disokong oleh putra-putrinya. Suatu rangkaian yang amat bedelau nian, alhamdulillah.

    Terakhir Wahab menulis, “Malahan apa yang dihadapinya kini, yang kita namakan sakit, adalah bentuk lain dari buncahan pertanyaan sekaligus jawaban. Bisa jadi suatu kemerdekaan yang hakiki agar kita bisa berbuat lebih baik. Pada gilirannya, Tabrani Rab sudah bisa mengatakan bahwa ia telah menjawab saat kita masih bertanya-tanya.”

    Terus-terang, saya masih ingin bertanya Hab…. 



    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Tanggap Balik 77 Tahun Tabrani Rab "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com