Tanggap Balik 77
Tahun Tabrani Rab
Oleh: Taufik
Ikram Jamil
Taufik Ikram Jamil |
Diminta
memberikan refleksi alias tanggap balik 77 tahun Tabrani Rab, Sabtu malam
(29/9), saya memang merasa gugup. Pasalnya, acara untuk itu dibuat Ahad
esoknya, sedangkan Tabrani bagi saya bukanlah sembarang orang. Terlalu banyak
sebutan yang disandangnya dengan pencapaian yang tak tanggung-tanggung pula.
Untungnya,
balasan pesan pendek melalui telepon genggam kawan saya Abdul Wahab yang
tinggal di kawasan Selat Melaka sana, sampai satu jam sebelum acara dimulai.
Berjujai-jujai pesannya muncul dengan satu benang hijau yang jelas las las
las.
“Bagaimana kita
merefleksikan atau menanggap balik hari kelahiran Prof Dr Tabrani Rab sekarang,
kalau tidak mengajukan sejumlah pertanyaan?” tulisnya.
Ia cepat
menyambung, “Tak satu, tak dua, mungkin puluhan, bahkan tidak terhingga.
Pasalnya suatu pertanyaan melahirkan pertanyaan. Dan anehnya, semua jawaban
dapat diketagorikan benar, tergantung dari sudut mana kita memandang. Sementara
Tabrani telah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
caranya sendiri.”
baca juga: Tabrani Rab 77 Tahun Diperingati Sederhana
Kemudian Wahab
menulis bahwa di tengah kesibukannya melayani pasien, ia masih berbicara Albert
Camus yang terasing dan berkuasa. Tapi ia juga menulis puisi dari hal-hal kecil
semacam lalang dengan pertanyaan mengapa bernama lalang, kemudian bagaimana api
melahapnya sehingga kemudian hanya menjadi kenangan.
Di sisi lain
disentuhnya Tahar ben Jellooun dan Nadjib Mahfouz dengan kedai kopi di sudut
kota Kairo yang bergelora. Lalu mengelak dari Socrates, tapi juga bukan
berpaham dengan Ibnu Khaldum. Adam Smith dan Kierkegard menyatu, tanpa
dilupakannya Yung Saleh yang terpongkeng-pongkeng menjual ojol dengan harga
secebis.
Tabrani Rab |
Dengan duka lara
diceritakanya pula Leman Kengkang dan Atan Ketip yang mengaruk limbah dari
perairan Selat Melaka, sedangkan ikannya lari entah ke mana. Juga orang-orang
mengadu untung ke Malaysia, selain Sakai dan Akit yang senantiasa terdera.
Bertahun-tahun Tempias, menempias bilik-bilik pertemuan para eksekutif dan
legilatif, dengan kocak, manja, bahkan semua sifat yang ada. Ketawa, sinis,
bahkan sergah, terangkai dalam kepiawaian budak Melayu jati.
Alih-alih
kemudian ia berpindah pada sekolahnya yang izinnya dihambat-hambat, kemudian
berlari ke Jalan Riau untuk melihat pembangunan suatu tempat yang seperti akan
menampung semua pikirannya sekaligus wujud sebagai apa pun namanya. Ia
beriteriak lantang sekaligus memimpin Riau merdeka, tapi juga tidak ingin darah
tumpah di sini. Ia terima dewan otonomi daerah tanpa melepaskan pemuliaan
terhadap manusia yakni penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Ia lebih dari apa
yang dibayangkan Sulalatus Salatin dengan tokoh bernama Raja Suran. Seorang
sosok yang coba mencari kehidupan di dasar lautan dengan kaca besar sebagai
pesawat pada abad ke-17, jauh sebelum Eropa memperhatikan kekayaan maritim.
Soalnya, Tabrani tidak hanya bertanya dalam kemuakan semuak-muaknya seperti
Raja Suran, tetapi sekaligus menjawab sehingga kita bisa melihat hari ini
bagaimana harapannya terwujud. Terlebih lagi, perwujudan harapan itu amat
disokong oleh putra-putrinya. Suatu rangkaian yang amat bedelau nian, alhamdulillah.
Terakhir Wahab
menulis, “Malahan apa yang dihadapinya kini, yang kita namakan sakit, adalah
bentuk lain dari buncahan pertanyaan sekaligus jawaban. Bisa jadi suatu
kemerdekaan yang hakiki agar kita bisa berbuat lebih baik. Pada gilirannya,
Tabrani Rab sudah bisa mengatakan bahwa ia telah menjawab saat kita masih
bertanya-tanya.”
Terus-terang,
saya masih ingin bertanya Hab….
No Comment to " Tanggap Balik 77 Tahun Tabrani Rab "