Mereka
yang
Habib dan yang Bukan Habib
Oleh: Funco Tanipu
Judul
berita “Mereka Yang Habib dan Bukan Habib” dari hasil riset mendalam media
online Titro.id sangat mengejutkan. Polemik yang berlangsung ratusan tahun ini
diulas oleh Tirto dengan apik. Tirto menurunkan lebih dari 10 tulisan terkait
ini. Serial tulisan dari media Tirto ini adalah bagian dari penjelasan detail
mengenai sejarah keturunan Nabi (Bani Alawiyyin) di Indonesia.
Bani
Alawiyyin atau juga biasa disebut sebagai Bani Ba’alawi adalah bagian dari
keturunan Nabi. Dalam silsilah dan sejarah keluarga menurut Habib Zein Umar bin
Smith yang juga Ketua Umum Rabithah Alawiyah, “hijrah” pertama keturunan Nabi
yang pindah ke Hadramaut dari Basrah ialah Habib Ahmad al-Muhajir—atau generasi
ke-8 dari keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Habib
Ahmad pergi bersama keluarganya. Sementara saudaranya, Habib Muhammad bin Isa,
tetap di Irak, di masa pemerintahan Khalifah Abbassiyah. Ia mendapat julukan
al-Muhajir karena berhijrah ke Hadramaut.
Menurut
Habib Zein Umar bin Smith berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Tirto bahwa
sebelum ke Hadramaut, Yaman, pria yang lebih dikenal Al-Imam Ahmad bin Isa ini
semula hijrah ke Madinah dan Mekkah, sekitar 896 Masehi, di dekat makam
buyutnya. Alasan kepindahannya karena saat itu ada banyak fitnah bahwa
keturunan Rasulullah bakal mengambil alih kekuasaan. Fitnah ini membuat
pemerintah yang berkuasa saat itu cemas sehingga banyak keturunan Nabi diburu
bahkan dibunuh.
Disebut
Bani Alawi karena merujuk pada silsilah Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir
bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jakfar as-Shodiq
bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zaen al-Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib
dan Fathima Azzahra binti Muhammad SAW. Alawi merupakan generasi pertama dari
keluarga Ahmad al-Muhajir yang lahir di Hadramaut. Ahmad al-Muhajir dan
anak-anaknya sendiri berasal dari Irak.
Alawiyyin
atau biasa disebut Alawiyah didirikan oleh Habib Muhammad bin Ali Baalawi atau
yang dikenal dengan gelar Al-faqih Mukaddam di Hadramaut pada abad 10 masehi.
Alawiyah bukan saja sebuah kaum, tetapi adalah juga tarekat sufi. Terbentuknya
bani ini karena memiliki akar sejarah pada upaya perebutan kekuasaan Muawiyah
bin Abi Sufyan terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan. Melalui peperangan
dan intrik politik, Muawiyah berhasil mengalahkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Kekalahan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini menandai berakhirnya era Empat Khalifah yang
Terpercaya” atau dikenal dengan istilah “Khulafaur rasyidin”. Sejak saat itulah
berdiri sitem kerajaan dalam dunia Islam tapi dengan tetap memakai gelar
Khalifah. Seluruh raja dari dinasti Umayyah yang didirikan oleh Muawiyah bin
Abu Sufyan memakai sebutan khalifah. Demikian pula dengan dinasti-dinasti
selanjutnya seperti Dinasti Abasiyah di Baghdad dan Dinasti Ottoman.
Dalam
catatan Tirto sesuai penurutan Ketua Rabithah, Bani Ba’alawi masuk di Indonesia
sejak dahulu untuk menyiarkan Islam. Hingga pada awal abad 20, didirikanlah
Rabithah Alawiyah untuk menjadi bagian dari memverifikasi dan mengotentifikasi
mana yang sayid dan mana yang bukan. Organisasi ini juga sekaligus untuk
membentengi keluarga Alawiyyin dari pernyataan Syekh Ahmad Surkati, salah
seorang petinggi di Jamiat al-Khair, yang menyatakan bahwa membolehkan
pernikahan seorang syarifah, perempuan keturunan sayid, dengan non-sayid.
Pernyataan ini kemudian memicu konflik, hingga memunculkan Rabithah Alawiyah
sebagai organisasi induk Bani Ba’Alawi.
Rabithah
Alawiyah didirikan bermaksud untuk memverifikasi dan mengotentifikasi kembali
tiga golongan orang-orang Hadramaut, sayyid dan non sayyid. Menurut Rabithah
Alawiyah, bagi masyarakat penting untuk tahu dan bisa memilah mana Sayyid dan
mana Habib. Karena tidak semua Sayyid bisa dipanggil Habib. Namun, semua sayyid
sudah pasti garis keturunan Nabi.
Rabithah
Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad, mendata ada 151 marga
segaris keturunan Nabi yang masih ada di dunia, termasuk Indonesia. Di
Indonesia, dari 100 an kabilah Assadah Alawiyah, kini hanya 68 marga keturunan
sayid yang tersisa. Mereka menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, dari Jakarta,
Surabaya, Sumatera hingga Kalimantan. Marga-marga Alawiyin antara lain ;
Alaydrus (atau Al-Eydrus, Al-Idrus), bin Yahya, Syekh bin Abubakar bin Salim,
Bilfaqih, Assegaf, al-Jufrie, al-Attas, Alhaddad, Alhabsyi, bin Syahab,
Alhamid, Almuhdor, dan banyak marga lainnya.
Selain
kaum Alawiyin, banyak pula orang Hadramaut ke Nusantara tanpa ada hubungan
dengan keluarga Nabi. Mereka disebut masaikh dan qabail. Golongan ini tetap
memiliki marga. Rabithah Alawiyah mencatat ada 239 marga orang Arab di
Indonesia yang tidak termasuk Alawiyin. Beberapa marga non-Alawiyin mungkin
kita kenal. Misalnya Bachmid, Alamari, Basalamah, Baladraf, Al Gadri, Ba’asyir,
dan Bamu’min serta banyak marga lainnya.
Polemik
yang saat ini terjadi adalah ketidaktahuan masyarakat soal memilah mana Habib
dan mana bukan Habib. Bagi masyarakat awam, yang Arab bisa dipanggil Habib,
walaupun bukan dari garis keturunan Sayyid. Sehingga, verifikasi dan otentikasi
dari Rabithah Alawiyah sangat ketat. Maktab Daimi selaku organisasi dibawah
Rabithah Alawiyah menjadi perpanjangan tangan dalam melakukan pencatatan nasab
serta melakukan otentifikasi dan verifikasi nasab secara lebih detail.
Salah
satu polemik yang menjadi kasus nasional adalah upaya fitnah yang dilakukan
terhadap Habib Muhamad Effendi Al-Eydrus. Fitnah yang dilancarkan adalah
informasi sepihak mengenai ketidakjelasan status Habib dari Habib Muhammad
Effendi Al-Eydrus. Fitnah yang digencarkan ini tidak lain adalah upaya memecah
belah bani Ba’alawi itu sendiri. Efek negatifnya adalah banyak masyarakat yang
terpapar oleh isu negatif tersebut hingga kemudian menjadi tidak percaya status
nasab dan bahkan meyakininya.
Walaupun
status dan garis keturunan Habib Muhamad Effendi Al-Eydrus telah diverifikasi
dan diotentifikasi sejak tahun 1997 dengan mengeluarkan buku nasab dengan nomor
004904 pada tanggal 7 Juli 1997 oleh Almaktab Addaimi yang menjadi bagian dari
kantor pemeliharaan sejarah dan statistik Alawiyyin yang berinduk pada Rabithah
Al-Alawiyah, namun upaya pengaburan status dan otentikasi ini tetap dilakukan
oleh Sayyid Hasan bin Soleh Al-Jufri dengan mengirimkan surat ke Rabithah
Alawiyah dengan nomor 012/RA-YK/VII/2018 tentang peninjauan kembali status
Habib Muhamad Effendi bin Hasan Badri sebagai dzurriyah Habib Mustofa bin
Syarief Ali Al-Eydrus Sultan Sabamban.
Maktab
Daimi sebagai perpanjangan Rabithah Alawiyah yang khusus untuk memverifikasi
dan melakukan otentikasi pun melakukan penjelasan bahwa nasab (garis keturunan)
setelah melakukan konfirmasi kepada Habib Ahmad bin Ali bin Hasan bin Tohir bin
Syarief Ali Al-Eydrus Sultan Sabamban. Tim dari Maktab Daimi pun melakukan
konfirmasi kembali ke Syarifah Zubaidah binti Hasyim bin Mustofa bin Syarif Ali
Al-Eydrus Sultan Sabamban dan Syarifah Aisyah binti Hasyim bin Mustofa bin
Syarif Ali Al-Eydrus Sultan Sabamban. Maktab Daimi juga melakukan penelusuran
hingga makam Habib Mustofa bin Syarif Ali Al-Eydrus Sultan Sabamban di
Tambarangan, Rantau, Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan.
Penelurusan
yang panjang dan berliku ini membuahkan hasil yang kemudian oleh Maktab Daimi
melalui Surat Keputusan No. 03/SK/MD-RA/IX/2018 menetapkan dan mengukuhkan
kembali keabsahan nasab dari Habib Muhamad Effendi bin Hasan Badri bin Hasyim
bin Musthofa bin Syarif Ali Al-Eydrus Sultan Sabamban. Surat keputusan ini
ditandatangani oleh Sayyid Ahmad Muhamad Alatas sebagai Ketua Maktab Daimi dan
Muhammad Bagir Alhaddad.
Berkaca
dari contoh kasus fitnah yang kemudian menjadi polemik tersebut, banyak catatan
penting untuk pelajaran bersama kedepan. Maktab Daimi yang kemudian
mengeluarkan surat keputusan pengukuhan kembali mengenai status nasab, yang
dari surat itu meluruskan polemik yang kberubah menjadi fitnah, hingga kini
menjadi lebih terang dan berbuah pada hal positif. Catatan penting dari polemik
ini antara lain bahwa ; (1). Pencatatan nasab adalah sangat penting untuk
bagian dari verifikasi dan otentifikasi mana kalangan Sayyid dan non Sayyid,
termasuk melihat mana kalangan Syarifah dan non Syarifah, karena akan sangat
erat kaitannya dengan status pernikahan diantara kalangan Bani Ba’alawi yang
kini mulai menjauh dari garis ketentuan bahwa syarifah tidak boleh dinikahi
oleh kalangan non Sayyid. (2). Fitnah yang kini melanda kalangan Sayyid menjadi
terang bahwa ada indikasi untuk memecah belah kalangan Sayyid yang diinginkan
oleh pihak tertentu dengan kepentingan jangka pendek, baik itu politik, ekonomi
atau faktor lainnya. (3). Pencatatan hingga verifikasi dan otentifikasi menjadi
sangat urgen untuk kemudian menjaga ikatan keluarga dan memelihara akhlak serta
praktik syiar Islam yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAAW. (4). Bagi
kalangan awam, menjadi penting untuk memahami otentikasi nasab ini sebagai
bagian dari ikhtiar memilih dan memilah mana yang Habib dan mana yang bukan
Habib, untuk kemudian memilah mana yang diikuti dan tidak. (5). Praktik fitnah
yang selama ini dianggap sebagai hal “normal” dan “wajar” dalam masyarakat
Indonesia adalah praktik yang jauh dari akhlak Nabi, karena efeknya bisa
membuat rusak ikatan persaudaraan dan menimbulkan efek domino negatif yang
lebih buruk bagi keutuhan umat Islam sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Sumber
:
1.
Taufik Abdullah, dkk., Muncul dan Berkembangnya Faham-Faham Keagamaan Islam di
Indonesia, 2008
2.
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam
Sejarah Indonesia, 2012
3.
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, 2006
4.
Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the
Netherlands East Indies, 1900–1942, 1999
5.
Deliar Noer, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942
6.
Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000
7.
Lodewijk Willem Christiaan van den Berg dalam Hadramaut dan Koloni Arab di
Nusantara, 1989
8.
https://tirto.id/perseteruan-orang-orang-arab-di-indonesia-chmD
9.
https://tirto.id/kita-harus-bisa-memilah-antara-sayid-dan-habib-chc8
10.
https://tirto.id/mereka-yang-habib-dan-yang-bukan-habib-chde
11.
https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/
12.
https://www.idntimes.com/news/indonesia/irfan-fathurohman/ini-sejarah-masuknya-habib-di-indonesia-hingga-terjun-ke-islam-politik-1/full
13.
https://kumparan.com/@kumparannews/jejak-habib-di-indonesia
15.
http://www.suarapembaharu.com/2018/09/surat-keputusan-maktab-daimi-rabithah.html
16.
Surat Keputusan Maktab Daimi 03/SK/MD-RA/IX/
17.
Buku Nasab Habib Muhamad Effendi Al-Eydrus No : 004904 sejak 7 Juli 1997
*) Penulis adalah pengajar di Universitas Negeri
Gorontalo
No Comment to " Mereka yang Habib dan yang Bukan Habib "