KORANRIAU.co, Pekanbaru -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra) Riau menyoroti kenapa aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil
(ASN/PNS) sering berada pada lingkaran korupsi. Menurut Fitra, hal itu tidak jauh dari empat poin permasalahan,
Keempatnya ialah perencanaan dan penganggaran keuangan
daerah, pengadaan
barang dan jasa, boros perjalanan dinas, dan Sistem transparansi yang
rendah.
Modus pada
perencanaan penganggaran keuangan daerah,
sebagaimana disampaikan Manajer Advokasi Fitra Riau, Taufik kepada koranriau.co, terletak
pada penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(PPAS) di mana terjadi tarik ulur kepentingan antara DPRD dan eksekutif (pemerintah daerah). Dan seringnya, penyusunan KUA PPAS itu dijadikan modus utama
penyimpangan anggaran seperti lobi-lobi
politik anggaran dan berunjung pada suap anggaran, gratifikasi atau lainnya.
“Terkait pengadaan barang dan jasa menurut catatan Fitra
bahwa terdapat 80 persen yang terjadi pada penyimpangan pengadaan barang dan jasa seperti mark-up, pengadaan yang tidak sesuai
spesifikasi, suap, dan gratifikasi,” ungkap Taufik,
Jum’at, 19 Oktober 2018.
Taufik (foto: portal greenradio) |
Modus penyimpangan tersebut, sambungnya, terjadi karena transparansi dokumen kontrak yang belum terbuka. Juga
adanya indikasi intervensi yang dilakukan kepada ASN yang
notabane pejabat kelompok kerja
unit layanan pengadaan (ULP) sehingga permainan proyek rentan terjadi.
“Contoh di Provinsi Riau tahun 2017 ada 225 paket
yang menjadi target pemprov, 206 telah selesai dikerjakan dan 19 proyek belum selesai pengerjaan,” katanya.
Berdasarkan 225
paket yang tersedia, satu pun dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa (PBJ) tidak bisa diakses oleh publik. Padahal sistem pada basis
jaringan telah
disediakan pemerintah yaitu Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Tapi LPSE, sebut Taufik, hanya memublikasikan
partisipasi perusahaan. Sumber anggaran dan jenis
kegiatan untuk perusahan pemenang tender dan dokumen kontrak juga tidak terbarukan (update)
pada jaringan
(website) LPSE.
Kemudian, mengenai besarnya anggaran perjalanan dinas yang
terkesan boros dan hura-hura, Tufik mengatakan
juga menjadi
perhatian Fitra Riau. Pasalnya, modus perjalanan dinas
sering dimanfaatkan oleh ASN/PNS untuk memanipulasi. ‘
“Contoh pada transportasi (tiket pesawat) dan akomodasi. Selain itu, laporan perjalanan dinas
tidak ada satupun yang terbuka dan sulit
diakses oleh publik, misalnya biaya perjalanan dinas pada DPRD Provinsi Riau tahun 2018
senilai Rp197,6
miliar,” ungkap Taufik.
Fitra Riau menurut Tufik pernah
melakukan akses dokumen terkait laporan perjalanan dinas, namun
pihak sekretariat DPRD hanya memberikan realisasi anggaran saja
padahal Fitra meminta laporan hasil pertanggungjawaaban perjalanan dinas.
“Tetapi pihak sekretariat juga tertutup terkait
laporan hasil pertanggungajwaban tersebut,” ujarnya.
Diterangkan Taufik, yang terjadi saat ini adalah masih rendahnya kesadaran keterbukaan informasi pada pemerintahan daerah. Padahal menurut Permendagri 03 tahun 2017 telah diatur bagaimana
mekanisme teknik penyusunan standar
operasional prosedur (SOP) dan daftar
informasi publik (DIP).
Tetapi, dari pantauan Fitra,
banyak dinas yang tidak transparansi terkait daftar informasi yang dimiliki
padahal seluruh pemerintah di 12 kabupaten kota di Riau telah memunyai pejabat
pengelola informasi dan dokumentasi (PPID). “Tapi PPID tidak berjalan secara maksimal terkait pelayanan terutama PPID
di Pekanbaru,” kata Taufik.
Permasalahannya
adalah pemerintah tidak memperbarui
memublikasikan informasi ke portal yang tersedia. Seharusnya, sebut taufik, pemerintah
terutama Kota Pekanbaru punya inovasi dalam melakukan pelayanan sehingga publik
bisa melakukan pengawasan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintah.
Padahal kata Taufik, seusai dengan amanat Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2017, publik berhak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sepeti pengawasan.
Selain empat poin tersebut, menurut Fitra Riau pemerintah
juga tidak menjalankan amanat rilis Komisi
Pemberantasan Korupsi. Padahal KPK telah menyebutkan
terdapat 301 ASN yang masih aktif yang belum dipecat sampai saat ini. “Berdasarkan data Fitra bahwa
ASN ada 239 yang telah mengalami vonis bebas dan 100 ASN masih ditahan,” sambung Taufik.
Karena itu Fitra Raiu mengeluarkan tiga rekomendasi. Pertama, segara
menjalankan amanat KPK untuk memecat secara tidak hormat bagi ASN yang
tersandung kasus korupsi sesuai dengan peraturan ASN. Kedua,
membangun sistem dan menjalankan sistem transparansi
dengan baik sesuai amanat UU 14 tahun 2008, dengan
memfungsikan pelayanan informasi (PPID) secara maksimal.
Kemudian, bagi pemerintah daerah yang telah memunyai
komitmen pemberantasan korupsi dalam rencana aksi, segera mengimplementasikan rencana aksi tersebut. Contohnya rencana aksi program
pemberantasan korupsi yang terintegrasi di Provinsi Riau sesuai Keputusan
Gubenur nomor
390/V/2018.
“Bagi daerah yang belum, seperti Pekanbaru, agar merencanakan dan
menyusun rencana aksi tersebut sehingga komitemen akan perbaikan terwujud,” pungkas Taufik. (Abs)
No Comment to " Fitra Riau Beberkan Mengapa ASN Sering Berada dalam Lingkaran Korupsi "