KORANRIAU.co, SIAK --
Suasana ruangan di rumah kediaman Sutriawan Saputra dan Endang Sri NIwana di
Kampung Benteng Hulu Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Riau mendadak menjadi
lautan air mata saat mereka berdua silih berganti menceritakan anaknya yang
menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS) yang merupakan dampak virus campak
dan rubella. Apalagi saat orangtua anak malang itu bercerita duka cita mereka
mengurus dan mengobati Restu --anak mereka.
Ketika ditemui
pada Ahad (30/9/2018), Sutriawan atau Iwan bercerita, anak mereka bernama
Muhammad Restu. Ia lahir pada 16 November 2014 dan saat ini usianya 3 tahun 10
bulan. Restu lahir melalui proses persalinan caesar di salah satu rumah sakit
ibu dan anak di Kota Pekanbaru.
“Restu lahir
prematur dengan usia kandungan 32 minggu dengan berat badan 1.600 gram dan
dirawat dalam ruangan NICU selama seminggu,” ujar Iwan saat bercerita kepada
Koran Riau.
“Restu juga
mengalami Conginetal Rubella Syndrome (CRS) atau Penyakit Kecacatan Akibat
Rubella,” tambah Endang.
Kedua matanya
mengalami katarak konginetal dan sudah dioperasi pada usia 4 bulan di RSUP M
Djamil Padang, Sumatera Barat. Operasi itu bisa dilakukan dengan bantuan
seorang ibu dokter mata yang baik hati. Sekarang Restu menunggu tanam lensa
tapi belum dapat terlaksana.
Dengan suara
lirih Endang mengatakan, anaknya sempat mengalami Jantung ASD, namun sudah
menutup pada usia Restu menginjak angka 3 tahun. Ia dan suaminya rutin membawa
Restu berobat dan kontrol ke dokter jantung anak yang juga baik hati.
“Namun yang
belum pulih yaitu Moderate Membranous Supravalvular PS dan harus terus kontrol
lagi sampai benar-benar sembuh,” tambah Iwan
Lanjut Iwan,
telinga Restu tuli sensorineural derajat sangat berat kanan kiri yaitu 110
desibel didapat dari hasil tes OAE, ASSR & BERA. Anjuran dokter THT, Restu
harus Cochlear Implant/Implan Rumah Siput dan atau pakai alat bantu dengar
(ABD).
“Alhamdulillah
kami baru saja mampu memakaikan alat itu di telinga Restu (meskipun) sebelah
kanan saja karena harganya mahal dan lumayan menguras kocek,” sebut Iwan.
Suasana di
rumah itu makin pecah saat isak tangis keluarga saling bersahutan saat ibunda
tercinta restu mengatakan, “Restu juga terkena Herniatomy dan sudah dioperasi
pada usia 7 bulan.”
Bertubi-tubi
cobaan yang harus dijalani Restu. Endang menyampaikan anaknya itu bahkan pernah
mengalami dehidrasi berat dan dirawat dalam ruangan NICU. “Pernah muntaber
dirawat selama enam hari dan panas tinggi dirawat selama enam hari,” ucapnya.
“Sesak nafas
dan batuk rejan yang harus di nebu juga pernah beberapa kali, serta alergi susu
sapi,” sahut Iwan.
Iwan
mengatakan, Restu tidak seperti normalnya anak-anak lain yang umur 1 tahun
sudah bisa berjalan. Ia baru dapat berjalan pada usia dua tahun lebih, itu pun
karena setelah melalui fisioterapi di rumah sakit. Dan untuk keluar-masuk rumah
sakit, sudah tak terhitung lagi.
Iwan
menambahkan, perjuangannya bersama istri dan anaknya masih panjang, Ia harus
memebelikan alat implan rumah siput (cochlear implant) supaya telinga Restu
dapat mendengar lebih baik. Juga harus tanam lensa untuk kedua matanya agar
fokus melihat.
“Restu harus
banyak ikut terapi d iantaranya terapi okupasi, terapi wicara, pendengaran dan
terapi AVT (Auditory Verbal Therapy) tapi belum terlaksana dikarenakan tempat
terapinya ada di Kota Pekanbaru,” kata Iwan.
“Perlu waktu
dua sampai tiga jam perjalanan dari tempat tinggal kami, ditambah biaya yang
cukup besar,” sahut Endang.
Suasana
mengharu biru kian pecah saat Endang mengenang meninggalnya adik perempuan
Restu yang hanya bisa menikmati hidup di dunia selama 7 hari. “Ia kami beri
nama Khadijah Qurrota Aini, lahir pada tanggal 26-04-2018 dengan berat badan
1.765 gram dengan usia kandungan 33-34
minggu,” jelas Endang.
Aini sempat
dirawat dalam ruangan NICU dan hasil diagnosa dokter sangat berat sakitnya.
Hingga akhirnya pada 2 Mei 2018 pukul 20.05 WIB dia menghembuskan nafas
terakhirnya.
Ia menjelaskan,
sebelumnya selama kehamilan atau di dalam kandungan anaknya itu selalu sehat-sehat
saja. Mereka pun rutin tiap bulan kontrol ke dokter spesialis kandungan. “Namun
Allah lagi-lagi berkehendak lain,” ujar Iwan. Air matanya terjatuh saat
bercerita.
Iwan
menjelaskan, dengan keterbatasan biayanya dalam mengobatkan anak, ia sudah
berusaha meminta bantuan dari mulai aparatur pemerintahan Kampung, Kecamatan
hingga Dinas Sosial. Namun ia mengaku belum ada hasil. “Mungkin hati mereka
belum terbuka,” ujarnya.
Ia berharap,
jangan ada lagi yang bernasib seperti Restu dan Aini di Kabupaten Siak
khususnya dan Provinsi Riau pada umumnya.
“Semoga ada
dermawan dan pemangku kebijakan di negeri tercinta ini peduli dan berempati
terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (children spesial needs) seperti Restu,”
tutup Iwan. (Alfath)
foto;foto: istimewa