• E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 30 Agustus 2018
    A- A+



    Pesan di Zulhijjah

    Oleh: Griven H. Putera



    Pada bulan Zulhijjah ini terdapat tiga peristiwa akbar yang terpahat dalam prasasti sejarah umat manusia. Pertama, perayaan Idul Adha; kedua kewajiban berkurban; dan ketiga pelaksanaan ibadah haji sebagai rukun khatam dalam Islam.

    Pada bulan ini terdapat beberapa nama insan pengukir batu emas peradaban. Mereka adalah Nabi Ibrahim As, Ismail As dan Sayyidah Hajar. Yang menjadi tiang mercu dari tiga insan cermin itu adalah Nabi Ibrahim AS.

    Kurban dan Keluarga Ibrahim

    Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi Ibrahim As yang merasakan kesepian. Karena hingga umurnya hampir seabad tak kunjung memiliki keturunan. Nabi Ibrahim As hanya dapat berdoa dan berdoa, “Ya Tuhanku karuniailah aku seorang anak yang salih”. (Qs.37:100).

    Akhirnya Allah Swt menjawab munajat dan rintihan Nabi Ibrahim dengan mengaruniakan Ismail (konon dari Bahasa Ibrani dari kata  yisma;mendengar dan danil –tuhan: yang berarti: Tuhan mendengar). Anak tersebut lahir dari rahim istrinya yang lain bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan kegembiraannya yang tak terkira itu, Allah Swt kembali menguji Ibrahim dengan perintah menyembelih anak yang ditunggu kehadirannya sepanjang masa itu.

    “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs.37: 102)

    Begitu menerima wahyu tersebut, Nabi Ibrahim As goncang, seakan-akan hendak roboh, pingsan dan seakan-akan tokoh sejarah hebat itu sedang mengalami kehancuran. Batinnya sangat terpukul menerima wahyu itu. Bayangkan, kekayaan apa yang lebih berharga daripada anak? Dan itu sudah ditunggu kehadirannya sampai di usia senja? Tetapi wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim tidak dapat mengabaikannya.

    Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan“menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankannya. Ia harus memilih salah satu di antara keduanya. “Cinta”dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk memecahkan persoalan ini, Nabi Ibrahim As mendialogkan dengan anaknya, “Wahai anakku aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Sang anak yang saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (Qs. 37:102).

    Setelah merenung dan menimbang sekian lama, Nabi Ibrahim As pun mengajak putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Dibaringkannya Ismail seperti layaknya seekor hewan yang hendak disembelih. Ketika pisau Ibrahim menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berfirman, “Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Wahai Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatannmu aku ganti Ismail dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah semata ujian yang berat bagimu, dan engkau termasuk orang yang muhsin.” (Qs.37:104-107).

    Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor domba. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Qs.37:108)

    Kurban, secara harfiah berarti mendekatkan. Maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam bahwa: sebagai muslim ideal ia mesti mendekati saudara-saudara yang kekurangan. Dengan berkurban berarti ia dekat dengan mereka yang fakir. Jika puasa mengajak muslim berpunya merasakan lapar seperti orang miskin, maka kurban mengajak mereka yang kelaparan untuk merasakan kenyang seperti muslim yang berpunya.

    Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama, makna sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah Saw menegaskan dalam sebuah haditsnya: “…wa man lahu sa’atun, falam yudlahhi, falâ yaqrabanna mushallânâ,”: Barang siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”

    Rasulullah Saw mengajar umatnya untuk memiliki kepekaan sosial. Ini telah dicontohkan sendiri oleh beliau, yaitu setiap hari raya Idul Adha ia beli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah disembelihnya seekor seraya berkata, “…hâzâ min muhammadin wa Ã¢li muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dengan berkata: “…hâzâmin ummati muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari umat Muhammad.”
    Rasulullah telah meyembelihkan seekor domba bagi umat Islam yang tidak mampu berkurban. Beginilah model Rasullullah, memberikan suri tauladan bagi umatnya, yaitu agar memiliki Islam sosial bukan Islam individual.

    Makna yang kedua, makna esensial,bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun (Quraish Shihab:1997: 415).

    Ismail hanya simbol atau lambang dari istri, anak, pekerjaan, keahlian, kepuasan nafsu, pangkat, kekuasaan, dan lain sebagainya. Sifat-sifat demikian inilah yang harus dibunuh, ditiadakan, disembelih, dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan, “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya.” (Qs.22:37)

    Bercermin pada Ibrahim nan agung, ada beberapa hal yang perlu direnungkan. Pertama, Ibrahim merupakan kekasih dari Sang Maha Kasih. Jika ingin dikasihi para kekasih dan Kekasih Abadi, cintailah Sang Kekasih dengan sekasih-kasihnya melebihi kasih kepada segala kekasih. Kedua, kelemahan manusia terletak pada sesuatu yang amat dicintainya. Jika ingin memperoleh cinta yang sebenar cinta, korbankan segala macam yang dicinta demi meraih Sang Cinta yang secinta-cintanya. Ketiga, Ismail merupakan simbol dari sesuatu yang amat penting dalam hidup. Bagi manusia zaman ini, Ismail bisa berbentuk anak-keturunan, pangkat-jabatan, harta kekayaan, harga diri, suku dan puak serta lain sebagainya.

    Manfaatkan segala yang paling berarti dan bermakna dalam hidup untuk memenuhi segala ingin dan hendak dari Sang Maha Pemerhati lagi Pengehendak itu.

    Keempat, pengganti Ismail adalah berupa bahimah (binatang ternak), artinya, dengan matinya binatang tersebut, matikan sifat hewaniyah yang selama ini berkeliaran dan beraja dalam diri. Sifat itu bisa maujud dalam bentuk seperti kesombongan, kerakusan, egoisme dan lain sebagainya. Jangan biarkan hawa nafsu bahimiyah itu beristana dalam hati.
    Kelima, Ibrahim tak bisa agung sendiri. Dia diapit Ismail dan Siti Hajar. Apa jadinya Ibrahim andai Ismail tak mau menuruti keinginan Ibrahim. Tak akan sukses Ibrahim mengikuti keinginan Kekasihnya kalau Hajar mempertahankan kasih sayang seorang ibu kepada anak semata wayangnya. Keenam, mengapa Ismail dan Hajar mampu berkolaborasi dengan Ibrahim? Agaknya, keridaan Sang Kekasih pada Ibrahimlah yang membuat semua orang di sekelilingnya mengikuti kemauan Ibrahim. Dan kemauan Ibrahim merupakan kehendak Sang Kekasihnya jua. Dari-Nya bermula dan bermuara ke Dia jua rupanya.

    Bercermin dari Nabi Ibrahim As, mampukah kita menjadi Ibrahim-Ibrahim baru di zaman ini? Sudahkah Ismail kita mampu dikorbankan buat Kekasih Abadi? Ataukah mereka baru setakat Kana’an anak Nabi Nuh As? Kana’an yang sepertinya hanya anak biologis bukan anak spritual Nabi Nuh As. Masihkah Hajar di rumah kita kini berwujud seperti istri Luth As dan lain sebagainya?

    Haji

    Saat ini jutaan kaum muislim sedang menunaikan ibadah haji. Mereka tengah melaksanakan rentetan terpenting ibadah haji yang terdiri dari rukun dan wajib, yaitu ihram dan mengambil niat di miqat, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Muzdalifah, bermalam di Mina, melontar jumroh, dan diakhiri dengan tawaf dan sa’i ifadah lalu ditutup mencukur rambut (tahallul) sebagai tanda tuntasnya pelaksanaan haji.
     Ali Syariati (1997) dalam karya monumentalnya tentang “Haji”menjelaskan secara filosofis makna simbolik dari semua gerakan haji tersebut.

    Di miqat (tempat mengambil niat haji) mereka melepaskan pakaian biasa, dan diganti dengan kain ihram. Pakaian melambangkan pola, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian adalah citra dan lambang ego manusia. Pakaian dapat menipu orang. Inilah yang harus dilepas. Pakaian yang terkadang menjadi topeng dalam kehidupan harus dilepaskan. Pakailah yang putih, yang suci dan tulus. Tanggalkan semua pakaian yang berupa sifat buruk yang dimiliki. Putihkan pakaian lahir dan batin.

    Setelah menjalani proses kehidupan, mungkin manusia telah berubah menjadi hewan. Mungkin srigala, tikus, anjing, domba dan lain sebagainya. Srigala melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus melambangkan kelicikan, anjing melambangkan tipu daya dan domba melambangkan penghambaan. Di miqat inilah ditanggalkan sifat kebinatangan tersebut dan diganti dengan kain kemanusian, yaitu ihram.

    Kata ihram, yang berasal dari kata yang sama dengan haram, juga berarti sejak dikenakannya pakaian ihram, jemaah haji mengharamkan semua prilaku yang tidak baik dan merusak. Ihram berarti, meminjam istilah Ziauddin Sardar, state of peace, keadaan damai. Berdamai dengan manusia, binatang bahkan alam raya. Karena itu ada larangan yang berlaku setelah mengenakan kain ihram, yang dikenal dengan istilah muharramat, seperti membunuh binatang, mencabut pepohonan dan bertengkar dan bermusuhan antarsesama.

    Wukuf di Arafah mengandung dua pesan. Pertama, wukuf, dalam bahasa Arab, berarti berhenti. Maksudnya, mulai tanggal 9 Dzulhijjah, jemaah haji berjanji untuk berhenti dari perbuatan maksiat. Berhenti dari melakukan apa yang dilarang oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw. Berhenti berkata kotor, berhenti membicarakan keburukan, menggunjing orang lain dan sesama muslim. Berhenti dari semua perbuatan tercela seperti mencaci-maki, merendahkan dan memeras orang, mengambil yang bukan hak, mencuri, membunuh, menyebarkan fitnah dan kebencian.

    Arafah juga bermakna mengenal. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu; siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Saat wukuflah manusia berusaha mengenali dirinya yang terdalam. Sehingga dari pengenalan itu ia ma’rifah siapa Tuhannya. Kalau sudah mengenal Allah Swt, lalu kenal apa lagi yang dicari? Kenallah diri dengan sekenal-kenalnya. Tiada akan mengenal-Nya kecuali dengan-Nya.

    Arafah, dalam bahasa Arab, juga berarti pengetahuan atau ilmu. Arafah juga bermakna berfikir, memahami, dan merenung. Dengan berhenti di padang tandus yang gersang itu, jemaah haji merenung dalam, bertafakkur bahwa seperti inilah ia dipadang Mahsyar pada hari perhitungan nanti. Merenung dari apa diciptakan, dari mana berasal dan ke mana ia kembali. Arafah juga memiliki pesan bahwa umat Islam harus cerdas dan pandai menggunakan akal budi sehingga fajar kebangkitan umat Islam akan terbit sebentar lagi. Tanpa ilmu pengertahuan dan teknologi, umat Islam akan tetap menjadi buih di tengah lautan kemajuan manusia. Banyak tapi tak berarti. Banyak tapi tak dapat memberi makna.

    Di Muzdalifah, jamaah haji bermalam di tengah gurun sahara untuk menyadari kelemahannya sebagai manusia, karenanya ia sangat memerlukan Allah Swt sebagai topangan dan sandaran keyakinan hidup.

    Di Mina melakukan jumrah (melontar). Ada tiga jumrah yang akan kita lontar: ula, wustho dan ‘aqabah. Terdapat banyak pesan yang tersembunyi di balik jumrah ini. Di antaranya yang dilontar atau dilempari itu pada hakikatnya adalah segala bentuk hawa nafsu dan keinginan syaithaniyah yang selama ini hidup dan berkembang dalam diri.

    Sa’i juga memberikan pesan untuk menghargai perempuan: hormati dan muliakan ibumu yang telah susah-payah mengandung, menyusui, dan mengasuhmu dengan segenap penuh kasih sayang. Nyawanya dipertaruhkan. Hormati dan sayangi istrimu yang telah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak-anak, memperhatikan kehidupan rumah tanggamu.

    Shafa berarti cinta murni kepada orang lain. Shafa mencerminkan pesan cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri.  Perhatikan lingkungan sekitar, karib-kerabat, handai-taulan, tetangga, dan teman kerja. Shafa merupakan hati yang bersih dan tulus untuk sampai ke Marwa, yaitu manusia ideal yang memiliki sifat menghargai, murah hati, dan suka memaafkan orang lain. Sa’i membentuk jamaah haji yang memiliki sifat-sifat agung tersebut. Sehingga mereka menjadi orang yang bermarwah.

    Perjalanan haji ditutup dengan tahallul atau mencukur beberapa helai rambut karena telah menyelesaikan rukun khatam Islam, diharapkan sekembali dari tanah suci, jamaah haji menerapkan makna dan pesan yang tercermin dari semua gerakan dan tahapan ibadah haji tersebut di tanah airnya hingga ujung hayat dikandung badan. Wallahu a’lam.



    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com