Pesan
di Zulhijjah
Oleh: Griven H. Putera
Pada bulan Zulhijjah ini terdapat tiga
peristiwa akbar yang terpahat dalam prasasti sejarah umat manusia. Pertama, perayaan Idul Adha; kedua kewajiban berkurban; dan ketiga pelaksanaan ibadah haji sebagai
rukun khatam dalam Islam.
Pada bulan ini terdapat beberapa nama insan pengukir batu emas peradaban.
Mereka adalah Nabi Ibrahim As, Ismail As dan Sayyidah Hajar. Yang menjadi tiang
mercu dari tiga insan cermin itu adalah Nabi Ibrahim AS.
Kurban dan Keluarga Ibrahim
Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi
Ibrahim As yang merasakan kesepian. Karena hingga umurnya hampir
seabad tak kunjung memiliki keturunan. Nabi Ibrahim As hanya dapat berdoa
dan berdoa, “Ya Tuhanku karuniailah aku seorang anak yang salih”.
(Qs.37:100).
Akhirnya Allah Swt menjawab munajat dan rintihan Nabi Ibrahim dengan
mengaruniakan Ismail (konon dari Bahasa Ibrani dari kata yisma;mendengar dan danil –tuhan: yang berarti: Tuhan mendengar). Anak tersebut
lahir dari rahim istrinya yang lain bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan
dan kegembiraannya yang tak terkira itu, Allah Swt kembali menguji Ibrahim
dengan perintah menyembelih anak yang ditunggu kehadirannya sepanjang masa itu.
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.” (Qs.37: 102)
Begitu menerima wahyu tersebut, Nabi Ibrahim As goncang, seakan-akan hendak
roboh, pingsan dan seakan-akan tokoh sejarah hebat itu sedang mengalami
kehancuran. Batinnya sangat terpukul menerima wahyu itu. Bayangkan, kekayaan
apa yang lebih berharga daripada anak? Dan itu sudah ditunggu kehadirannya
sampai di usia senja? Tetapi wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim
tidak dapat mengabaikannya.
Ibrahim menghadapi dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya
dengan“menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan
mengorbankannya. Ia harus memilih salah satu di antara
keduanya. “Cinta”dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya.
Untuk memecahkan persoalan ini, Nabi Ibrahim As mendialogkan dengan
anaknya, “Wahai anakku aku bermimpi
semalam bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Sang anak yang
saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.” (Qs.
37:102).
Setelah merenung dan menimbang sekian lama, Nabi Ibrahim As pun mengajak
putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Dibaringkannya
Ismail seperti layaknya seekor hewan yang hendak disembelih. Ketika pisau
Ibrahim menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berfirman, “Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Wahai
Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatannmu aku ganti Ismail
dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah semata ujian yang
berat bagimu, dan engkau termasuk orang yang muhsin.” (Qs.37:104-107).
Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail
yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor
domba. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Qs.37:108)
Kurban, secara harfiah berarti
mendekatkan. Maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan cara
mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah
kurban mencerminkan pesan Islam bahwa: sebagai muslim ideal ia mesti mendekati
saudara-saudara yang kekurangan. Dengan berkurban berarti ia dekat dengan
mereka yang fakir. Jika puasa mengajak muslim berpunya merasakan lapar seperti
orang miskin, maka kurban mengajak mereka yang kelaparan untuk merasakan
kenyang seperti muslim yang berpunya.
Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama, makna
sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah Saw menegaskan dalam sebuah
haditsnya: “…wa man lahu sa’atun,
falam yudlahhi, falâ yaqrabanna mushallânâ,”: Barang siapa yang
memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya,
maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”
Rasulullah Saw mengajar umatnya untuk memiliki kepekaan sosial. Ini telah
dicontohkan sendiri oleh beliau, yaitu setiap hari raya Idul Adha ia beli
dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan
tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah disembelihnya seekor seraya
berkata, “…hâzâ min muhammadin
wa âli muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan
keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dengan berkata: “…hâzâmin ummati muhammadin, Ya
Allah terimalah ini dari umat Muhammad.”
Rasulullah telah meyembelihkan seekor
domba bagi umat Islam yang tidak mampu berkurban. Beginilah model Rasullullah,
memberikan suri tauladan bagi umatnya, yaitu agar memiliki Islam sosial bukan
Islam individual.
Makna yang kedua, makna esensial,bahwa apa yang dikurbankan tidak
boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam
rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak
mengenal hukum dan norma apapun (Quraish Shihab:1997: 415).
Ismail hanya simbol atau lambang dari
istri, anak, pekerjaan, keahlian, kepuasan nafsu, pangkat, kekuasaan, dan lain
sebagainya. Sifat-sifat demikian inilah yang harus dibunuh, ditiadakan,
disembelih, dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri
kepada Allah swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan, “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah
yang dapat mencapainya.” (Qs.22:37)
Bercermin pada Ibrahim nan agung, ada
beberapa hal yang perlu direnungkan. Pertama, Ibrahim merupakan
kekasih dari Sang Maha Kasih. Jika ingin dikasihi para kekasih dan Kekasih
Abadi, cintailah Sang Kekasih dengan sekasih-kasihnya melebihi kasih kepada
segala kekasih. Kedua, kelemahan manusia terletak pada sesuatu yang amat
dicintainya. Jika ingin memperoleh cinta yang sebenar cinta, korbankan segala
macam yang dicinta demi meraih Sang Cinta yang secinta-cintanya. Ketiga,
Ismail merupakan simbol dari sesuatu yang amat penting dalam hidup. Bagi
manusia zaman ini, Ismail bisa berbentuk anak-keturunan, pangkat-jabatan, harta
kekayaan, harga diri, suku dan puak serta lain sebagainya.
Manfaatkan segala yang paling berarti dan bermakna
dalam hidup untuk memenuhi segala ingin dan hendak dari Sang Maha Pemerhati
lagi Pengehendak itu.
Keempat, pengganti Ismail adalah berupa bahimah (binatang ternak),
artinya, dengan matinya binatang tersebut, matikan sifat hewaniyah yang selama
ini berkeliaran dan beraja dalam diri. Sifat itu bisa maujud dalam bentuk
seperti kesombongan, kerakusan, egoisme dan lain sebagainya. Jangan
biarkan hawa nafsu bahimiyah itu beristana dalam hati.
Kelima,
Ibrahim tak bisa agung sendiri. Dia diapit Ismail dan Siti Hajar. Apa
jadinya Ibrahim andai Ismail tak mau menuruti keinginan Ibrahim. Tak akan
sukses Ibrahim mengikuti keinginan Kekasihnya kalau Hajar mempertahankan kasih
sayang seorang ibu kepada anak semata wayangnya. Keenam, mengapa Ismail
dan Hajar mampu berkolaborasi dengan Ibrahim? Agaknya, keridaan Sang Kekasih
pada Ibrahimlah yang membuat semua orang di sekelilingnya mengikuti kemauan
Ibrahim. Dan kemauan Ibrahim merupakan kehendak Sang Kekasihnya jua. Dari-Nya
bermula dan bermuara ke Dia jua rupanya.
Bercermin dari Nabi Ibrahim As, mampukah kita menjadi
Ibrahim-Ibrahim baru di zaman ini? Sudahkah Ismail kita mampu dikorbankan buat
Kekasih Abadi? Ataukah mereka baru setakat Kana’an anak Nabi Nuh As? Kana’an
yang sepertinya hanya anak biologis bukan anak spritual Nabi Nuh As. Masihkah
Hajar di rumah kita kini berwujud seperti istri Luth As dan lain sebagainya?
Haji
Saat ini jutaan kaum muislim sedang menunaikan ibadah haji. Mereka tengah
melaksanakan rentetan terpenting ibadah haji yang terdiri dari rukun dan wajib,
yaitu ihram dan mengambil niat di miqat, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di
Muzdalifah, bermalam di Mina, melontar jumroh, dan diakhiri dengan tawaf dan
sa’i ifadah lalu ditutup mencukur rambut (tahallul) sebagai tanda tuntasnya
pelaksanaan haji.
Ali Syariati (1997) dalam karya monumentalnya
tentang “Haji”menjelaskan secara filosofis makna simbolik dari semua
gerakan haji tersebut.
Di miqat (tempat mengambil niat haji) mereka melepaskan pakaian biasa, dan
diganti dengan kain ihram. Pakaian melambangkan pola, status dan perbedaan-perbedaan
tertentu. Pakaian adalah citra dan lambang ego manusia. Pakaian dapat menipu
orang. Inilah yang harus dilepas. Pakaian yang terkadang menjadi topeng dalam
kehidupan harus dilepaskan. Pakailah yang putih, yang suci dan tulus. Tanggalkan
semua pakaian yang berupa sifat buruk yang dimiliki. Putihkan pakaian lahir dan
batin.
Setelah menjalani proses kehidupan, mungkin manusia telah berubah menjadi
hewan. Mungkin srigala, tikus, anjing, domba dan lain sebagainya. Srigala
melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus melambangkan kelicikan, anjing
melambangkan tipu daya dan domba melambangkan penghambaan. Di miqat inilah
ditanggalkan sifat kebinatangan tersebut dan diganti dengan kain kemanusian,
yaitu ihram.
Kata ihram, yang berasal dari kata yang sama dengan haram, juga berarti sejak
dikenakannya pakaian ihram, jemaah haji mengharamkan semua prilaku yang tidak
baik dan merusak. Ihram berarti, meminjam istilah Ziauddin Sardar, state of peace, keadaan damai. Berdamai
dengan manusia, binatang bahkan alam raya. Karena itu ada larangan yang berlaku
setelah mengenakan kain ihram, yang dikenal dengan istilah muharramat,
seperti membunuh binatang, mencabut pepohonan dan bertengkar dan
bermusuhan antarsesama.
Wukuf di Arafah mengandung dua pesan. Pertama,
wukuf, dalam bahasa Arab, berarti berhenti. Maksudnya, mulai tanggal
9 Dzulhijjah, jemaah haji berjanji untuk berhenti dari perbuatan maksiat.
Berhenti dari melakukan apa yang dilarang oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw.
Berhenti berkata kotor, berhenti membicarakan keburukan, menggunjing orang lain
dan sesama muslim. Berhenti dari semua perbuatan tercela seperti mencaci-maki, merendahkan
dan memeras orang, mengambil yang bukan hak, mencuri, membunuh, menyebarkan
fitnah dan kebencian.
Arafah juga bermakna mengenal. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu;
siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Saat wukuflah manusia berusaha
mengenali dirinya yang terdalam. Sehingga dari pengenalan itu ia ma’rifah siapa
Tuhannya. Kalau sudah mengenal Allah Swt, lalu kenal apa lagi yang dicari?
Kenallah diri dengan sekenal-kenalnya. Tiada akan mengenal-Nya kecuali
dengan-Nya.
Arafah, dalam bahasa Arab, juga berarti pengetahuan atau ilmu. Arafah juga
bermakna berfikir, memahami, dan merenung. Dengan berhenti
di padang tandus yang gersang itu, jemaah haji merenung dalam, bertafakkur
bahwa seperti inilah ia dipadang Mahsyar pada hari perhitungan nanti.
Merenung dari apa diciptakan, dari mana berasal dan ke mana ia kembali. Arafah
juga memiliki pesan bahwa umat Islam harus cerdas dan pandai menggunakan akal
budi sehingga fajar kebangkitan umat Islam akan terbit sebentar lagi. Tanpa
ilmu pengertahuan dan teknologi, umat Islam akan tetap menjadi buih di tengah
lautan kemajuan manusia. Banyak tapi tak berarti. Banyak tapi tak dapat
memberi makna.
Di Muzdalifah, jamaah haji bermalam di tengah gurun sahara untuk menyadari
kelemahannya sebagai manusia, karenanya ia sangat memerlukan Allah Swt sebagai
topangan dan sandaran keyakinan hidup.
Di Mina melakukan jumrah (melontar). Ada tiga jumrah yang akan kita
lontar: ula, wustho dan ‘aqabah. Terdapat
banyak pesan yang tersembunyi di balik jumrah ini. Di antaranya yang
dilontar atau dilempari itu pada hakikatnya adalah segala bentuk hawa nafsu dan
keinginan syaithaniyah yang selama ini hidup dan berkembang dalam diri.
Sa’i juga memberikan pesan untuk
menghargai perempuan: hormati dan muliakan ibumu yang telah susah-payah
mengandung, menyusui, dan mengasuhmu dengan segenap penuh kasih sayang.
Nyawanya dipertaruhkan. Hormati dan sayangi istrimu yang telah mengandung,
melahirkan, dan mengasuh anak-anak, memperhatikan kehidupan rumah tanggamu.
Shafa berarti cinta murni kepada orang lain. Shafa mencerminkan pesan
cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Perhatikan
lingkungan sekitar, karib-kerabat, handai-taulan, tetangga, dan teman
kerja. Shafa merupakan hati yang bersih dan tulus untuk sampai ke
Marwa, yaitu manusia ideal yang memiliki sifat menghargai, murah
hati, dan suka memaafkan orang lain. Sa’i membentuk jamaah
haji yang memiliki sifat-sifat agung tersebut. Sehingga mereka
menjadi orang yang bermarwah.
Perjalanan haji ditutup dengan tahallul atau mencukur beberapa helai rambut karena
telah menyelesaikan rukun khatam Islam, diharapkan sekembali dari tanah suci,
jamaah haji menerapkan makna dan pesan yang tercermin dari semua gerakan dan
tahapan ibadah haji tersebut di tanah airnya hingga ujung hayat dikandung
badan. Wallahu a’lam.