JAKARTA- Seleksi penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hampir berakhir. Setelah SNM PTN, lalu SBM PTN, mungkin beberapa PTN masih ada yang sedang dalam proses menyelenggarakan jalur mandiri.
Seperti diketahui, jalur mandiri menjadi satu-satunya jalur yang diatur secara bebas oleh masing-masing PTN. Jalur mandiri diformulasikan secara serentak sejak 2013, di mana setiap PTN diberi kuota maksimal 20 persen untuk menjaring mahasiswa dari jalur ini. Pada 2013 juga, kuota seleksi penerimaan mahasiswa baru masih didominasi oleh SNM PTN yang saat itu menjadi seleksi penerimaan tanpa tes. Sisanya, 30 persen dialokasikan untuk SBM PTN yang menjadi jalur penerimaan dengan tes tulis.
Hampir setiap tahun, selalu ada perubahan formulasi penerimaan mahasiswa baru. Khususnya terkait dengan pembagian kuota antara SNM PTN, SBM PTN, dan jalur mandiri. Pada 2016, pembagiannya berubah menjadi 40 persen untuk SNM PTN, 30 persen untuk SBM PTN, dan 30 persen untuk jalur mandiri. Artinya jelas, persaingan lewat SNM PTN dan SBM PTN yang merupakan jalur "murah meriah" menjadi lebih ketat.
Perubahan terakhir menyangkut kuota terjadi lagi pada 2018, di mana kuota untuk SNM PTN minimal 20 persen, dan untuk SBM PTN minimal 40 persen. Jadi setiap PTN diberikan keleluasaan untuk menentukan persentase SNM PTN dan SBM PTN dengan batas yang telah ditentukan. Sedangkan untuk jalur mandiri tetap ditentukan dengan maksimal 30 persen.
Sebenarnya, 30 persen juga bukan kuota yang sedikit. Bayangkan saja, untuk mengikuti seleksi jalur mandiri, pendaftar harus membayar uang pendaftaran yang tidak murah, bahkan ada PTN yang membandrol biaya pendaftaran sejumlah Rp 750 ribu.
Bila diterima lewat jalur mandiri, calon mahasiswa baru juga harus siap-siap membayar lebih. Karena ada PTN yang mengharuskan pendaftar dari jalur mandiri membayar dana lain di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namanya bervariasi, sebut saja pengembangan fasilitas, pengembangan institusi atau dana mutu akademik. Besar nominalnya pun bervariasi.
Bahkan, ada Fakultas Kedokteran di salah satu PTN yang mematok ratusan juta dalam jalur mandirinya. Belum lagi, ada juga PTN yang memberlakukan kebijakan UKT tertinggi bagi mahasiswa jalur mandiri. Artinya, semua mahasiswa yang lolos dari jalur mandiri diwajibkan membayar UKT dengan level tertinggi. Biasanya, pola ini terjadi di PTN dengan status Berbadan Hukum (PTN-BH).
Dilansir dari laman Kemenristek-dikti, saat ini ada 11 status PTN-BH, dari yang sebelumnya berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Kampus yang berstatus PTN-BH mendapatkan keleluasaan dalam pengelolaan aspek akademis dan non-akademis, termasuk dalam pendanaan. Contohnya, PTN yang sudah berstatus PTN-BH diperbolehkan mempunyai dana abadi atau endowment.
Dana abadi bisa menjadi investasi yang dikelola supaya keuntungannya bisa digunakan untuk kepentingan kampus. PTN yang mempunyai endowment bisa meningkatkan infrastruktur dan sarana prasarananya dengan mudah. Misalnya di Amerika, endowment paling besar milik Harvard University yang mencapai USD 32,334 juta.
Otonomi dalam pengelolaan aset ini bisa saja menjadikan PTN lebih peka dalam melihat aspek keuntungan. Harapan ke depannya mungkin secara perlahan negara bisa menurunkan jumlah kucuran dana operasional ke PTN-BH. Karena jika PTN yang masih berstatus BLU atau satuan kerja (satker) setiap tahunnya mendapat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), maka PTN-BH juga mendapatkan Bantuan Pendanaan PTN-BH.
Pada 2013, Kementrian Pendidikan pernah merilis nama PTN mana saja yang mendapatkan dana BOPTN tertinggi, dan di antara 10 peringkat kampus penerima BOPTN tertinggi, 8 di antaranya kini berstatus sebagai PTN-BH. Sayangnya, Kemenristek-dikti pun belum pernah merilis jumlah nominal BPPTN-BH.
Apakah kiranya PTN-BH masih menjadi penerima bantuan operasional terbanyak dibandingkan dengan PTN yang masih berstatus sebagai BLU/Satker? Bila memang iya, apa rasionalisasi yang bisa dijelaskan, bagaimana mungkin status PTN-BH membuat pembiayaan jalur mandiri yang lebih mahal dibanding kampus non PTN-BH?
Ironisnya, pada akhir Maret lalu, Kemenristek-Dikti sempat merilis 10 PTN dengan penerima beasiswa bidikmisi terbanyak, dan delapan dari 10 PTN tersebut bukan berasal dari PTN-BH.
Bidikmisi adalah beasiswa penuh untuk siswa miskin. Sekarang yang perlu disorot, apa semua kampus dari PTN-BH menerima bidikmisi melalui jalur mandiri? Sebab saat kuota SNM PTN dipangkas, otomatis persaingan bidikmisi melalui jalur SNM PTN semakin ketat. Meskipun ada PTN yang menerima bidikmisi lewat jalur mandiri, tapi informasi tersebut kebanyakan belum sampai ke calon mahasiswa.
Semoga ini menjadi renungan bahwa pendidikan di negara berkembang seperti Indonesia seharusnya tetap bersifat inklusif. Semua PTN, dengan status apakah itu PTN BH, BLU, Satker, semuanya mendapatkan pendanaan dari negara, jadi sudah keharusan menjaring calon mahasiswa sesuai kemampuan akademis, bukan kemampuan materi orangtuanya.
Alangkah lebih baiknya juga bila semua mekanisme jalur penerimaan itu "ramah biaya'" untuk calon mahasiswa.
Dinda Lisna Amilia mengajar di perguruan tinggi swasta dan sekolah internasional, pegiat isu gender dan pendidikan.
Dikutip dari detik.com/nor
No Comment to " Ironi Jalur Mandiri Masuk PTN "